MADINAH di sekitar tahun enam puluhan hijriyah memang berbeda dengan saat ini. Konflik politik dan senjata seperti tak kunjung berhenti. Kezaliman penguasa saat itu akhirnya mengorbankan hak ekonomi warganya. Banyak warga Madinah yang fakir dan miskin.
Namun, ada keajaiban yang dialami warga fakir miskin itu. Di kala pagi, ada kantong-kantong berisi gandum di setiap rumah mereka. Entah siapa yang meletakkannya.
Tentu saja mereka gembira. Mereka bisa menyambung hidup melalui gandum misterius itu.
Lebih menarik lagi, ketika persediaan gandum itu hampir habis, ada lagi kantong gandum yang lain di setiap rumah mereka. Lagi-lagi mereka temukan di saat pagi.
Mereka bukan tidak merasa aneh dengan kantong gandum misterius itu. Tapi, mereka sulit menebak siapa orang dermawan yang begitu lihai meletakkan sekantong gandum di saat persediaan mereka hampir habis.
Tanpa terasa, kejadian yang penuh tanda tanya itu terus dan terus terjadi. Hingga tanpa terasa sudah berlangsung bertahun-tahun.
Suatu hari, di tanggal 25 Muharam tahun 95 hijriyah, seorang ulama besar yang juga cicit Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dikabarkan meninggal dunia. Beliau adalah Ali bin Husein bin Ali bin Abu Thalib, rahimahumullah.
Ulama yang biasa dipanggil Zainal Abidin, biasa juga dipanggil Sajjad atau ahli sujud itu begitu dihormati umat saat itu. Kalau ia sedang thawaf, serempak umat saat itu akan minggir memberikannya jalan.
Sebegitu tekunnya ibadah qiyamul lail beliau, bisa dibilang, tak satu malam pun yang berlalu di Madinah saat itu tanpa diisi sujud beliau. Sebutan Zainal Abidin menunjukkan arti orang yang menyandang perhiasan ahli ibadah.
Setelah berlalu hari-hari pasca wafat beliau, ada yang berbeda dirasakan para fakir dan miskin di Madinah. Mereka tak lagi menemukan kantong-kantong gandum yang biasa mereka temukan di saat pagi.
Saat itulah mereka menyadari siapa sosok misterius yang telah begitu dermawan menyuplai gandum secara rutin dan rahasia. Beliau adalah Zainal Abidin.
Rupanya, di setiap malam, Zainal Abidin atau Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib itu seperti tak pernah tidur. Ia mengisi seluruh malam dengan dua amal: hablun minallah melalui qiyamul lail, dan hablun minannas melalui kiriman kantong-kantong gandum.
**
Amal soleh bisa dilakukan dengan terang-terangan maupun rahasia. Yang penting adalah menjaga keikhlasan dari amal itu. Karena di situlah kunci utamanya.
Namun begitu, ada nilai lain dari sisi kerahasiaan sebuah amal. Yaitu kemuliaan yang hanya dinilai khusus oleh Yang Maha Mengetahui rahasia: Allah subhanahu wata’ala.
Hanya Allah yang akan memujinya. Dan hanya Allah yang akan menjaga kemuliaan dan keistimewaannya. [Mh]