ChanelMuslim.com- Sepuluh hari tanpa dunia. Itulah i’tikaf kita. Di sepuluh hari itu, hanya ada akhirat.
I’tikaf merupakan momen membekukan urusan dunia kita. Selama sepuluh hari, urusan yang harus disibukkan hanya tentang akhirat.
Tidak sampai lima persen hari-hari dunia kita disunnahkan untuk dibekukan sementara. Hanya sepuluh hari dari 365 hari yang tersedia. Di momen itu, kita seolah berada di dunia lain. Dunia yang hampir seratus persen berkaitan dengan akhirat.
Sejarah menulis, sepanjang hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat berada di Madinah, beliau tidak pernah luput dari i’tikaf di bulan Ramadan. Selama sepuluh hari itu, beliau seperti absen dalam urusan dunia ini.
Dimulai saat menjelang malam tanggal 21 bulan Ramadan, Rasulullah sudah menyiapkan diri dalam masjid. Ada ruangan khsusus untuk beliau yang disekat dari kesibukan jamaah masjid yang lain.
Selama sepuluh hari itu, beliau tidak pernah meninggalkan masjid. Kesibukan utama beliau hanya satu: full untuk urusan akhirat. Ibadah, zikir, dan Al-Qur’an. Program khusus itu baru rampung setelah di pagi hari saat datang Hari Raya Idul Fitri.
Meski tidak pernah ditinggalkan Nabi, amal i’tikaf tergolong ibadah sunnah. Dan bukan hanya Nabi yang melaksanakannya, semua istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun ikut melaksanakan i’tikaf. Tentu, ruangannya terpisah dengan jamaah laki-laki.
Saat itu, kita bukan sekadar melepas urusan dunia untuk sementara. Tapi, menchas ruhani kita untuk seratus persen tertuju pada akhirat. Ruhani yang setiap hari kerap terabaikan. Kering dari siraman air sejuknya zikrullah. Semua disegarkan kembali dalam kurun sepuluh hari itu.
Persis seperti ulat yang menjahit sendiri benang kepompongnya dari dalam bangunan. Ia kurung dirinya untuk waktu tertentu. Tertutup rapat dari dunia luar.
Dalam beberapa waktu berikutnya, ia bukan lagi ulat yang dulu. Melainkan sudah menjelma menjadi kupu-kupu yang indah. Di mana kaki-kakinya tak lagi merayap di bumi. Ia telah memiliki sayap yang lebih mendekatkan dirinya dengan dunia langit. Daripada bergelut di bawah kotornya bumi.
Seperti itulah kira-kira yang ingin diraih dari i’tikaf. Sebuah program yang memiliki arti kata diam. Tapi, mampu menghasilkan perubahan revolusioner yang dahsyat. Melahirkan sosok baru yang lebih dekat ke langit daripada terus menempel pada kotornya bumi. [Mh]