TAK ada yang abadi di dunia ini. Yang bernyawa maupun yang tidak, yang nyata maupun yang gaib; semua akan berakhir. Kecuali Allah subhanahu wata’ala.
Dalam puisinya, Khairil Anwar pernah membuat judul: aku ingin hidup seribu tahun lagi. Itu memang hanya sekadar bahasa puisi, sebuah ungkapan semangat untuk meraih masa depan.
Karena dalam dunia nyatanya, sang pujangga hanya berumur 27 tahun kurang tiga bulan. Dan di usia yang relatif muda itu, beliau telah menulis 70 karya puisi.
Siapa pun kita pasti akan berakhir. Dan apa pun kita tetap akan menemui titik akhir. Meskipun dalam perjalanan menuju akhir itu, orang kadang jauh dari kesadaran akan berakhir.
Yang terjadi pada umumnya, sesuatu berakhir di luar dugaan. Di saat masa jayanya, di saat tak seorang pun yang akan yang berani mengingatkan bahwa ada kata ‘akhir’ di rute ketinggian mana pun.
Firaun yang sudah berada pada fase ‘tinggi’ yang luar biasa di zamannya, yang begitu yakin dengan mengatakan ‘Saya Tuhanmu yang Maha Tinggi’; akhirnya tersungkur hina dalam buaian kesombongannya.
Begitu pun rezim-rezim yang berjejer di daftar para penguasa dari masa ke masa. Saat ini mereka hanya tinggal sejarah. Itu pun kalau sempat ditulis dan diingat orang. Kalau tidak, berakhirnya begitu saja.
Kata ‘akhir’ dalam sunnatullah di alam ini, dimaksudkan bukan untuk dihindari. Karena kemana pun kita lari dari peristiwa ‘akhir’, tetap saja akan menuju pada ‘akhir’ itu sendiri.
‘Akhir’ itu dimaksudkan sebagai kesadaran bahwa waktu yang tersedia sangat terbatas. Sementara, prestasi yang diraih harus tinggi seperti menara-menara masjid di Istanbul Turki.
Dan ketika ada titik temu antara kesadaran akan masa ‘akhir’ dengan prestasi yang mampu diraih, usia kenangan akan jauh lebih lama dari usia hidup orang itu sendiri.
Khairil Anwar lahir pada tahun 1922 dan wafat pada 1949, sebuah masa yang begitu lama untuk menjadi bahan kenangan generasi saat ini. Tapi, beliau seperti masih hidup hingga saat ini. Usia kenangan prestasinya melampaui usia hidupnya sendiri.
Dan yang sangat luar biasa adalah prestasi para Nabi, yang telah wafat ribuan tahun lalu. Tapi, kenangan prestasinya masih tetap segar untuk dikenang, dikaji, bahkan diambil pelajaran untuk masa depan.
Begitu pun dengan generasi para salafus soleh. Yaitu, para sahabat Rasul, para tabi’in, para ulama yang karya-karya mereka masih tetap hidup sebagai panduan generasi saat ini.
Memahami dan menyadari kata ‘akhir’ adalah langkah awal untuk bisa meraih prestasi jangka panjang. Pada masanya, mungkin saja kita sudah lama di bawah batu nisan, tapi karya dan amal kita masih ‘segar’ menjadi maslahat orang banyak. [Mh]