ORANG-orang Barat mengatakan bohong kecil itu tidak apa. Bohong untuk kebaikan justru dianjurkan atau dalam istilah mereka adalah white lies. Dalam Islam berbohong itu dosa, tetapi ada bohong yang diperbolehkan yaitu tawriyah.
Ada hadits Rasulullah mengenai bohong yang diperbolehkan. Ketika itu berbohong jadi rukhsoh atau keringanan karena ada maslahat yang besar.
Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin ‘Abi Mu’aythin, ia di antara para wanita yang berhijrah pertama kali yang telah membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan dia antara pihak yang berselisih di mana ia berkata yang baik atau mengatakan yang baik (demi mendamaikan pihak yang berselisih, -pen).”
Ibnu Syihab berkata, “Aku tidaklah mendengar sesuatu yang diberi keringanan untuk berdusta di dalamnya kecuali pada tiga perkara, “Peperangan, mendamaikan yang berselisih, dan perkataan suami pada istri atau istri pada suami (dengan tujuan untuk membawa kebaikan rumah tangga).” (HR. Bukhari no. 2692 dan Muslim no. 2605, lafazh Muslim).
Baca Juga: Biasakan Diri untuk Tidak Berbohong
Berbohong itu Dosa, Tawriyah Diperbolehkan
Contoh perkataan suami pada istrinya yang dimaksud di atas, “Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai selain dirimu.” Atau sebaliknya istri mengatakan seperti itu.
Intinya, dusta tetaplah suatu perkara yang diharamkan. Bohong atau dusta hanyalah diringankan pada suatu perkara yang dianggap punya maslahat yang besar yaitu yang disebutkan dalam hadits di atas.
Dalam suatu kondisi berdusta malah bisa diwajibkan untuk menghindarkan diri dari kehancuran atau kebinasaan seseorang.
(Lihat Nuzhatul Muttaqin karya Syaikh Prof Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, hal. 134).
Namun apakah dusta yang dimaksudkan adalah dusta yang tegas ataukah cuma permainan kata-kata saja (disebut: tawriyah).
Yang dimaksud tawriyah adalah menampakkan pada yang diajak bicara tidak sesuai kenyataan, namun dari satu sisi pernyataan yang diungkap itu benar.
Misalnya, ada yang mengatakan demi mendamaikan yang berselisih, “Si Ahmad (yang sebenarnya mencacimu) itu benar-benar memujimu.” Maksud pujian ini adalah pujian umum, bukan tertentu karena setiap muslim pasti memberikan pujian pada lainnya.
Misalnya yang lain, karena perselisihan demi mendamaikan, si pendamai berkata, “Si fulan yang penuh dendam padamu itu selalu mendoakanmu.”
Mendengar seperti itu, tentu akan reda pertikaian yang ada. Karena memang setiap muslim itu akan mendoakan yang lainnya dalam doa termasuk dalam shalatnya.
Seperti saat tasyahud pada bacaan “assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin” (salam untuk kita dan hamba Allah yang shalih).
Yang dimaksud di sini adalah doa bagi setiap muslim. Jadi seakan-akan perkataannya tadi menunjukkan dusta, namun dari satu sisi benar karena ia pun mendoakan kaum muslimin secara umum dalam shalat.
Namun yang ingin menyelesaikan atau mendamaikan perselisihan hendaklah menjauhkan diri dari dusta. Kalau terpaksa, maka hendaklah yang dilakukan bentuknya adalah tawriyah. Tawriyah itu dibolehkan jika ada maslahat.
Tawriyah bagi pasangan suami istri, yaitu mengatakan sesuatu yang nampak menyelisihi kenyataan namun satu sisi ada makna benarnya.
Misalnya yang dikatakan oleh suami pada istrinya, “Engkau adalah manusia yang paling aku cintai.” Ini tujuannya untuk mengikat cinta dan kasih sayang antara sesama pasangan.
Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Syarh Riyadhus Sholihin, juz ke-3 Hendaklah tidak diperbanyak bentuk tawriyah di antara suami istri.
Jika sampai apa yang diucap menyelisihi realita dan terungkap, maka yang muncul di antara pasangan adalah saling benci dan bermusuhan.
Jika pasangan suami istri terlalu sering menggunakan tawriyah maka dikhawatirkan akan bias dengan kejujuran dan ketulusan. Sebaiknya tawriyah ini hanya digunakan dalam meredam amarah pasangan karena cemburu misalnya. (w/rumaysho/ln)