SEBUAH pepatah bijak mengatakan, “Unzur maa qaala, walaa tanzur man qaala.” Perhatikan apa yang diucapkan, bukan siapa yang mengucapkan.
Pepatah menarik mengajarkan sebuah kecerdasan nalar. Yaitu, perhatikan isi ucapannya, bukan pada siapa yang mengucapkannya.
Darimana asal pepatah bijak itu? Sebagian sumber menyebut bahwa pepatah itu merupakan bagian dari nasihat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Boleh jadi, hal tersebut sebagai bagian dari nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Yaitu, “Kalimat hikmah adalah senjatanya orang bijak. Di mana saja ia menemukannya, ia berhak atasnya.”
Apa yang bisa digali dari pepatah itu?
Pertama, bahwa nilai kebenaran datangnya dari Allah subhanahu wata’ala. Dan mungkin saja ‘keluarnya’ dari siapa pun. Bisa dari anak kecil, dari orang miskin, bahkan dari musuh sekali pun.
Jadi, yang diteliti dan dicermati isinya, bukan siapa yang mengucapkannya.
Dengan logika yang sama, Allah subhanahu wata’ala menantang siapa pun, jin dan manusia, untuk membuat perkataan yang serupa dengan Al-Qur’an. Seolah, Allah mengajak mereka untuk fokus dengan isi Al-Qur’an, bukan siapa yang mengucapkannya.
Dan memang, jika dilakukan secara objektif, tak satu pun yang mampu menggugat kebenaran Al-Qur’an. Justru sebaliknya, orang-orang yang sebelumnya membenci berbalik mencintai.
Hal itulah yang kini terjadi di masyarakat Barat. Ketika mereka objektif dengan isinya, mereka seperti menemukan apa yang selama ini dicari-cari.
Mulailah belajar untuk objektif dengan isi ucapan. Meskipun itu datang dari adik, orang tua yang pendidikannya rendah, istri atau suami, pembantu rumah tangga, anak, dan lainnya.
Kedua, lepas ego sentris diri. Salah satu ciri orang sombong adalah merendahkan orang lain. Karena seseorang terjebak dengan sifat buruk itu, ia tak mampu berpikir objektif.
Terlalu fokus dengan siapa yang mengucapkan, akan menggelapkan hati dari kebenaran. Yang muncul dominan akhirnya perasaan, bukan nalar. Padahal, kebenaran tak lahir dari perasaan atau ego.
Jadi, cobalah uji hujjah atau argumentasinya. Bukan menjatuhkan sosok yang mengucapkannya.
Ketiga, Islam itu agama ilmu. Bukan emosi. Dan ilmu selalu mengajarkan berpikir objektif, argumentatif, dan terbuka.
Seperti itulah semestinya kita bersikap. Kalau memang ada yang belum kita pahami, akuilah. Dengan begitu kita belajar lagi. Bukan memunculkan emosi yang tidak jelas.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “…Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (QS. Al-Hasyr: 2) [Mh]