JANGAN rendah diri jika berada di posisi ‘kelas bawah’. Dengan Islam, yang ‘rendah’ bisa ‘paling tinggi’.
Namanya Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Meski dari seorang penggembala kambing, Ibnu Mas’ud tergolong sahabat Nabi yang istimewa.
Usianya dengan Rasulullah hanya terpaut lebih muda 24 tahun. Lahir di Mekah, orangnya kurus, kulitnya hitam, dan dari keturunan orang ‘bawahan’.
Awal mula bertemu Rasulullah saat Ibnu Mas’ud sebagai penggembala kambing milik tokoh Quraisy. Saat itu Nabi sedang bersama Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Usia Ibnu Mas’ud saat itu sekitar 16 tahun.
Abu Bakar menanyakan, “Bisakah kami mendapatkan air susu dari kambing yang kau gembalakan?”
Ibnu Mas’ud menjawab, “Aku hanya sebagai penggembala. Kambing-kambing ini bukan milikku.”
Nabi berkata, “Adakah kambing betina yang belum pernah menyusui.”
Ibnu Mas’ud menjawab ada, dan ia pun membawakannya kepada Nabi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa kepada Allah, dan kambing itu pun kontan memiliki susu yang banyak.
Abu Bakar mencari batu cekung untuk dijadikan wadah untuk menampung susu. Susu itu diminum Abu Bakar, Nabi, dan juga Ibnu Mas’ud.
Sejak itu, Abdullah bin Mas’ud terkagum dengan sosok Nabi. Meski masih remaja, ia tergolong 6 orang pertama yang masuk Islam.
Atas restu ibunya, Ibnu Mas’ud beralih menjadi ‘pelayan’ Rasulullah. Ia menyiapkan air, membantu kesibukan rumah tangga Nabi, membawakan perlengkapan Nabi saat safar, dan sebagainya.
Bisa dibilang, dari semua sahabat Nabi, hanya beliau yang paling dekat dengan Nabi. Kemana pun Nabi berada, beliau selalu mendampingi.
Nabi mengatakan kepada Ibnu Mas’ud, “Kamu boleh masuk ke kamarku jika tirainya dibuka.” Tidak heran jika begitu banyak ‘rahasia’ pribadi Nabi yang diketahui Ibnu Mas’ud. Dan beliau menjaganya sampai mati.
Bahkan di saat perang pun, Ibnu Mas’ud tak pernah jauh dari Nabi. Ketika di Perang Uhud yang nyaris menewaskan Nabi, beliau merupakan satu dari empat sahabat Nabi yang mati-matian menjaga Nabi.
Kedekatannya dengan Nabi memberikan berkah yang luar biasa. Ibnu Mas’ud mengatakan, “Aku menghafal 70 surah Al-Qur’an langsung dari Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam.” Sanadnya langsung dari Nabi.
Suatu kali, ketika Ibnu Mas’ud berdua dengan Nabi, ia disuruh Nabi membacakan untuk Nabi ayat-ayat Al-Qur’an. Ibnu Mas’ud sungkan, “Bagaimana mungkin aku membacakan Al-Qur’an yang melalui Anda Al-Qur’an diturunkan.”
Nabi tetap meminta Ibnu Mas’ud membacakannya. Beliau pun akhirnya membacakan Surah An-Nisa dari ayat pertama. Hingga di ayat ke-41, Nabi menangis. “Cukup,” ucap Nabi.
Ayat ke-41 Surah An-Nisa itu artinya, “Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat, dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka.”
Suatu kali saat berada di masjid, Ibnu Mas’ud sedang dalam posisi akan memanjatkan doa sendirian. Tiba-tiba ada Rasul di sampingnya dan mengatakan, “Berdoalah, insya Allah, akan Allah kabulkan.”
Kalau Nabi mengatakan seperti itu, berarti itulah momen doa untuk Abdullah bin Mas’ud yang teramat langka, karena doanya pasti akan dikabulkan Allah.
Doa apa yang dipanjatkan Ibnu Mas’ud saat mendapatkan kesempatan emas itu? Ia berdoa, “Ya Allah jadikanlah tempat tinggalku di surga bersama Rasulullah.”
Inilah kecerdasan Abdullah bin Mas’ud. Dengan doanya itu, ia bukan sekadar dijamin masuk surga, tapi juga tinggal di surga yang sama dengan surga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Para sahabat ternama begitu mengakui keunggulan Ibnu Mas’ud. Mereka mengatakan, “Ia ada bersama Nabi di saat kita tidak ada. Ia mengetahui keadaan tentang Nabi, di saat kita tidak tahu apa-apa.”
Di masa Kekhalifahan Umar bin Khaththab, Ibnu Mas’ud ditugaskan sebagai guru besar di sebuah madrasah Islam di Irak. Dari madrasah itu, lahir begitu banyak ulama yang mewariskan ilmu tafsir, hadis, fikih dari Ibnu Mas’ud.
Ibnu Mas’ud wafat di usia 59 tahun. Ia wafat di Madinah, di masa Kekhalifahan Usman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
**
Tak ada yang ‘rendah’ dalam latar belakang seorang muslim. Dengan ilmu, yang awalnya ‘rendahan’ menjadi mulia dan bermartabat.
Ikhlaskan diri dalam mengejar ilmu. Suatu saat, dengan ilmu itu, Allah akan memuliakan kita. Apa pun latar belakang kita. [Mh]