MU’JIZAT adalah hal istimewa tentang kebesaran Allah. Tidak bisa dipelajari manusia dan tak bisa ditiru.
Sejak kecil kita belajar tentang istilah mu’jizat. Misalnya, mu’jizat Nabi Nuh tentang banjir besarnya, Nabi Ibrahim yang tidak terbakar api, Nabi Musa yang membelah laut, Nabi Sulaiman yang bisa bicara dengan hewan, dan nabi-nabi lain alaihimussalam.
Kita pun bertanya, “Apa mu’jizat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam?”
Kita pun mendapat pelajaran bahwa mu’jizat Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an. “Al-Qur’an? Di mana mu’jizatnya?” begitulah kira-kira pertanyaan kita di saat masih kecil.
Hal ini karena kita sudah terjebak dengan sosok mu’jizat yang serba aneh dan ajaib. Misalnya, bisa berjalan di atas air, terbang menembus bulan, dan lainnya.
Pertanyaannya, kenapa Allah subhanahu wata’ala tidak menonjolkan mu’jizat seperti itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kenapa “hanya” Al-Qur’an?
Umat Nabi Muhammad sangat berbeda dengan umat para nabi sebelumnya. Dahulu orang hidup misalnya dalam dunia sihir, mantra-mantra, dan sejenisnya.
Saat ini, hal itu sudah tidak relevan. Orang saat ini memuja nalar berpikir yang menghasilkan banyak fasilitas hidup. Seperti ilmu sains dan teknologi.
Banyak penemuan teknologi yang mencermati fenomena alam. Seperti pesawat yang dicermati dari cara burung terbang, dan lainnya.
Nalar berpikir itulah yang dimuat dalam Al-Qur’an agar bisa selaras dengan apa yang ada dalam keagungan Allah subhanahu wata’ala.
Al-Qur’an mengajak manusia untuk berpikir, menggunakan akal dan nalar untuk menangkap hal besar dari yang kita anggap kecil.
Contoh, Allah tidak malu untuk membuat perumpamaan dengan nyamuk. Nyamuk dianggap hal biasa. Padahal di situlah tertera mu’jizat luar biasa tentang kebesaran Allah.
“Sesungguhnya Allah tidak malu membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 26)
Para seniman pahat dan patung mungkin sangat mahir membuat patung gajah, garuda, singa, jerapah, buaya, dan lainnya yang persis dengan rupa dan ukuran aslinya.
Tapi, seniman seni rupa mana yang bisa membuat patung nyamuk yang persis seperti aslinya, baik rupa maupun ukurannya. Pakar robotic mana yang mampu membuat robot nyamuk yang persis dengan aslinya.
Artinya, di situlah nalar dirangsang untuk menemukan mu’jizat. Bahwa tidak mungkin tidak ada Yang Maha Agung dan Maha Mengetahui yang bisa menciptakan itu.
Sains, sejak awal abad ke-19 selalu mencari-cari bagaimana alam raya tercipta dan untuk apa manusia hidup. Teori satu berganti dengan yang lebih baru, ke yang lebih baru lagi, dan seterusnya.
Namun, semua itu tidak akan pernah menemukan titik temu yang memuaskan. Kecuali, dari bantuan Al-Qur’an.
Perkembangan temuan teleskop paling canggih menyimpulkan bahwa langit yang paling tinggi dipenuhi dengan unsur hidrogen. Dan Al-Qur’an jauh sebelum ini sudah menyebut bahwa ‘arsy Allah di atas air.
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air….” (QS. Hud: 7)
Al-Qur’an memang bukan kitab sains. Tapi Al-Qur’an menuntun manusia untuk bertemu dengan titik sentral Pencipta alam semesta ini, yaitu Allah subhanahu wata’ala.
“Katakanlah, Dialah Allah yang Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas)
Perhatikanlah, bahwa mu’jizat bertebaran di setiap saat kehidupan kita. Perputaran matahari dan bulan yang selalu tepat waktu. Sehingga kita bisa secara tepat mengukur waktu shalat secara hisab.
Kita juga bisa bernafas di alam semesta yang sulit ditemukan komposisi oksigen dan unsur kimia lain. Siapa yang menyediakan itu semua. Begitu pun dengan panas matahari yang proporsional sehingga rumah-rumah tidak membeku atau terbakar.
Jadi, apa masih tertarik dan kagum dengan sosok yang bisa terbang dan berjalan di atas air? Karena semua yang Allah sajikan di alam raya ini isinya mu’jizat semua. [Mh]