TAK ada yang dicari di dunia ini kecuali bahagia. Demi bahagia itu pula orang rela untuk tidak bahagia sementara.
Apa sih bahagia itu? Sebagian orang menyebut bahagia karena serba berkecukupan. Tak ada yang kurang.
Cukup makan dan minum. Cukup sandang dan perumahan. Cukup kendaraan. Cukup simpanan atau tabungan. Dan seterusnya.
Orang pun memahami bahwa untuk mencapai serba cukup itu butuh perjuangan. Di sinilah orang rela untuk tidak bahagia sementara demi untuk meraih bahagia di hari tua.
Sayangnya, tidak bahagia sementara ini kadang tidak jelas rentang waktunya. Tiba-tiba datang masa tua, tapi masih jauh dari kriteria bahagia.
Dengan kata lain, tidak bahagia sementara yang diklaim sebagai tangga menuju bahagia menjadi tidak sementara lagi, alias permanen.
Di sinilah jebakan-jebakan kehidupan orang kota. Mereka begitu rela untuk bersusah payah demi masa tua yang bahagia, padahal ujungnya juga tidak bahagia.
Sementara mereka yang menyatakan berhasil meraih yang diinginkan, juga merasakan sesuatu yang jauh dari bahagia. Ibarat semut yang tersiksa karena manisan.
Jadi, kadang orang merasakan tidak pernah bahagia karena salah mengartikan makna bahagia.
Bahagia itu sejatinya bukan tentang memperoleh sesuatu. Karena sesuatu yang diperoleh tidak pernah menjadi milik kita.
Akan selalu ada momen perpisahan antara kita dengan apa yang kita anggap milik kita. Kemungkinannya dua: yang kita miliki pergi duluan atau kitanya yang pergi duluan.
Jadi bahagia itu apa? Bahagia adalah ketika kita tidak merasa kehilangan sesuatu. Seperti, nyawa yang masih melekat, iman dan Islam yang masih di hati, sehat yang tidak hilang, dan keluarga yang masih bersama.
Dan puncak dari segala bahagia adalah ketika kisah akhir hidup ini berhenti di lembar halaman yang baik. Sebuah halaman akhir yang penuh ridha Allah subhanahu wata’ala.
Jadi masih sibuk untuk mencari bahagia? Pahamilah sebenarnya bahagia sudah ada di hati kita. Yaitu ketika hati dan lisan kita kompak mampu mengucapkan ‘alhamdulillah’. [Mh]
.