HATI yang bersih menjadikan ilmu mudah didapat dan sulit lepas. Jaga hati jika ingin ilmu lestari.
Pada tahun 209 hijriyah, lahir seorang ulama hadis bernama Muhammad bin Isa, rahimahullah. Ia lahir di wilayah Uzbekistan di daerah bernama Termez.
Dari tempat lahirnya itulah, Muhammad bin Isa lebih dikenal dengan nama Imam Tirmizi.
Imam Tirmizi belajar ilmu hadis dari guru yang paling ia banggakan. Gurunya itu bernama Imam Bukhari. Bisa dibilang, segala metodologi ilmu hadis yang ia pegang hampir seratus persen mengambil dari sang guru.
Satu keistimewaan Imam Tirmizi yang ‘terwariskan’ dari gurunya adalah kekuatan hafalannya. Dan hal itu merupakan ciri utama para ulama hadis di masa itu. Kekuatan hafalan mereka begitu dahsyat.
Di masa itu, hafal Al-Qur’an bukan lagi hal istimewa. Karena mereka sudah hafal di usia sebelum sepuluh tahun. Dan kenyataannya, menghafal hadis jauh lebih sulit daripada menghafal Al-Qur’an.
Suatu hari, dalam perjalanannya mengkonfirmasi hadis dari seorang sumber dilakukan oleh Imam Tirmizi. Ia sudah menyiapkan catatan tentang hadis-hadis itu. Dengan begitu proses konfirmasi menjadi lebih mudah.
Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Imam Tirmzi berhasil menemukan syaikh yang sebagai sumber tersebut. Setelah meminta izin, syaikh tersebut menyetujui.
Imam Tirmizi mengeluarkan buku catatannya. Ternyata, ia salah membawa buku. Bukan buku catatan hadis tersebut, melainkan buku kosong.
Syaikh yang menyaksikan hal itu, sedikit kecewa. “Apa kamu tidak merasa malu denganku?” ucapnya dengan nada kecewa.
Imam Tirmizi pun mengatakan, “Syukurnya aku sudah menghafal semua hadis itu.”
Syaikh itu terheran. Ia mengira Imam Tirmizi hanya menunjukkan optimisme untuk belajar. Tapi setelah semua hadis dibacakan dalam hafalannya dengan begitu sempurna, tanpa satu huruf pun yang terlewat, syaikh itu begitu takjub.
“Apa yang tadi aku sebutkan ada yang salah atau kurang?” tanya Imam Tirmizi.
“Tidak ada. Sempurna!” jawab Syaikh.
“Mohon ditambahkan hadis-hadis lain yang belum aku hafal tadi,” ucap Imam Tirmizi.
“Baiklah. Ada 40 hadis lagi,” jawab syaikh yang kemudian membacakannya.
Syaikh itu pun ‘menguji’ apa memang benar 40 hadis yang baru disampaikan itu sudah dihafal langsung.
Imam Tirmizi pun membacakan 40 hadis itu dalam hafalannya. Begitu lengkap tanpa terlewatkan satu huruf pun.
Apa rahasianya? Imam Syafi’i rahimahullah pernah mengungkapkan dalam sebuah syair. Aku pernah mengadukan pengalaman buruknya hafalanku kepada Waqi’, guruku.
Guruku memintaku untuk meninggalkan segala maksiat. Ia juga mengajarkanku bahwa ilmu itu cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan melekat pada hati yang maksiat.
**
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendoakan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Nabi mendoakan, “Ya Allah, berikanlah kefakihan agama pada anak ini.” Rasulullah mengucapkan doa itu seraya tangan kanannya memegang dada Ibnu Abbas. Bukan kepalanya.
Bersihkan hati dari hasad, sombong, riya, nifaq, dan lainnya. Niscaya ia akan ‘subur’ menampung segala ilmu yang baik. Mudah masuk, dan sulit keluar. [Mh]