SEORANG anak muda menjumpai seorang kiyai untuk menanyakan tiga hal. “Pak Kiyai, saya ingin bertanya tiga hal. Mohon Pak Kiyai memberikan penjelasan,” ucapnya.
“Silakan ditanyakan, semoga saya bisa menjawab,” jawab Pak Kiyai.
“Pertama, kenapa kita percaya dengan Allah, padahal tidak bisa dilihat dengan nyata.
“Kedua, kenapa kita harus meyakini takdir Allah.
“Dan ketiga, bagaimana mungkin setan disiksa di neraka yang dari api, padahal setan terbuat dari api?” ungkap si anak muda.
Pak Kiyai sejenak manggut-manggut. Di luar dugaan si anak muda, tiba-tiba Pak Kiyai menampar pipi si anak muda. Tentu saja, si anak muda mengeluh kesakitan.
“Kenapa Pak Kiyai menampar saya?” tanya si anak muda sambil menahan rasa sakit di wajahnya.
“Tamparan tadi adalah jawaban dari tiga pertanyaan kamu tadi,” jelas Pak Kiyai.
“Lho kok bisa, Pak Kiyai?” tanya si anak muda lagi.
“Pertama, tadi kamu bilang sakit, apa kamu bisa melihat sakit? Tidak kan. Tapi kamu bisa merasakan. Tidak semua yang tidak terlihat berarti tidak ada,” jawab Pak Kiyai.
“Kedua, ditampar tadi adalah takdir Allah. Apa kamu pernah merencanakan akan ditampar? Tidak kan. Di luar dugaan, kamu mengalaminya,” ungkap Pak Kiyai.
“Ketiga, pipi kamu berasal dari kulit. Tangan aku juga berasal dari kulit. Meski sama-sama kulit, tapi bisa saling menyiksa,” pungkas Pak Kiyai yang diiringi anggukan si anak muda.
**
Mampu menjelaskan sesuatu dengan lisan memang sangat baik. Tapi kadang, orang jauh lebih memahami dijelaskan dengan perbuatan.
Itulah kenapa belajar dari kisah, drama, film, jauh lebih efektif daripada belajar melalui membaca atau menyimak ceramah. Dan, sebanyak 70 persen isi Al-Qur’an merupakan kisah. Inilah hikmah dari sebuah ilmu. [Mh]