TAKUT itu anugerah. Tapi buat sebagian orang, takut juga hambatan. Karena itu, posisikan takut di tempat semestinya.
Seorang adik ingin menyelami hobi kakaknya naik gunung. Apa sih yang membuat orang begitu suka naik gunung. Padahal di sana hanya sepi, hutan, gelap, dan berbagai hewan buas.
Rasa penasaran itu pula yang akhirnya menjadikan sang kakak menyertakan adiknya ikut naik gunung. “Siapkan bekal seperlunya,” ucap sang kakak.
Selain keperluan pribadi, sang adik juga membawa golok, pentungan, bahkan obat semprot pembasmi serangga. Ia membayangkan, nanti akan masuk hutan dan bertemu ular, anjing liar, babi hutan, dan berbagai hewan lain yang menakutkan.
“Dik, bagaimana kamu akan bisa naik gunung dengan tas seberat itu?” ucap sang kakak mencermati tas yang dibawa adiknya. Akhirnya, golok, pentungan, dan lainnya batal dibawa.
Sang adik hanya bingung, bagaimana semua hewan yang ia takutkan itu akan ia lawan. Yah, ia hanya pasrah membawa barang seperlunya mengikuti yang diajarkan kakaknya.
Benar saja. Di tengah hutan, persis di hadapan mereka ada seekor ular hitam lewat. Sang kakak memberikan aba-aba untuk diam. “Biarkan dia lewat,” ucap sang kakak tenang.
Seumur hidupnya, baru kali itu sang adik melihat ular bebas berkeliaran dan lewat di depannya. Kalau bukan karena mematuhi kakaknya, ia akan lari terbirit-birit.
Ular hitam itu pun akhirnya berlalu masuk ke semak-semak. Wajah pucat sang adik akhirnya mulai memudar normal.
“Bagus si ular tidak mematuk aku!” ucap sang adik masih dibayang-bayangi ketakutan.
“Ia cuma lewat, Dik. Urusan hidupnya jauh lebih perlu daripada repot-repot mematuk kita,” ungkap sang kakak begitu ringan.
Horor ternyata belum berlalu buat sang adik. Saat malam di dalam tenda, suara hewan-hewan malam seperti kelelawar, burung hantu, auman kucing hutan membuatnya tak bisa tidur. Meskipun, sang kakak sudah menyalakan api unggun kecil untuk menghangatkan mereka.
“Jangan takut, Dik. Suara-suara itu bukan untuk menakut-nakuti kita. Itu hanya tanda kalau mereka sedang bekerja,” jelas sang kakak seperti sudah terbiasa.
Di pagi yang cerah, kabut tipis masih sesekali melewati tenda keduanya. Olahan cahaya mentari pagi seperti sebuah simponi di balik lekukan puncak-puncak gunung.
“Oh betapa luar biasanya pemandangan ini. Sebuah lukisan Tuhan yang sangat menakjubkan,” ucap sang adik sambil menikmati teh hangat.
Sang kakak tersenyum. “Dik, di sinilah kita belajar untuk berbaik sangka dengan ciptaan Allah. Bukan hewan-hewan liar itu yang menakutkan, kitalah yang takut dengan kelemahan diri sendiri,” pungkasnya.
**
Takut adalah sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi, padahal itu memang belum terjadi. Ada yang takut miskin, padahal ia tidak miskin. Ada yang takut kehilangan harta, padahal hartanya masih ia pegang. Ada yang takut kehilangan orang yang ia cintai, padahal mereka masih bersamanya.
Dengan kata lain, kitalah yang membuat rasa takut itu dan bukan sesuatu itu yang terlihat menakutkan.
Ketika kita hanya takut pada Allah, maka Allah akan mencabut rasa takut dari apa pun. Tapi jika kita tak takut dengan Allah, maka akan begitu banyak rasa takut yang ‘menghatui’ diri kita sendiri. [Mh]