ULAMA pewaris Nabi. Mengikuti jejak para ulama, sama dengan mengikuti jejak Nabi.
Namanya Muhammad bin Ismail. Nama ini tak banyak yang sebut. Umat lebih menyebut beliau dengan Imam Bukhari rahimahullah.
Lahir di negeri Uzbekistan pada bulan Syawal tahun 194 Hijriah, dan wafat pun di bulan yang sama pada usia 60 tahun.
Imam Bukhari belajar dari para ulama hadis ternama. Di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal. Meski lahir di kampung Bukhara kawasan Uzbekistan saat ini, beliau menimba ilmu di Basrah, selatan Kota Bagdad Irak.
Ketika masih anak-anak, Imam Bukhari pernah ‘dicurigai’ dua temannya. Bagaimana mungkin seorang murid belajar tanpa mencatat apa pun seperti yang dilakukan Imam Bukhari selama belajar itu.
“Kamu ngapain aja nggak mencatat apa pun?” seperti itu kira-kira yang diucapkan temannya.
Imam Bukhari menanyakan apa yang mereka catat. Dua temannya itu mengeluarkan semua catatan sebanyak 15 ribu hadis. Sebuah catatan yang tentunya begitu tebal.
Ulama yang masa balitanya buta dan yatim ini pun membacakan apa yang ia hafal. Bahkan dua temannya itu memperbaiki catatannya melalui hafalan Imam Bukhari.
Ulama yang kitabnya menjadi rujukan kedua setelah Al-Qur’an itu menghafal sebanyak 600 ribu hadis. Dari jumlah itu, ia ringkas lagi sebanyak 100 ribu hadis shahih. Dan dari 100 ribu itu, ia ringkas lagi hanya menjadi 7.275 hadis. Hadis ‘super’ shahih itu yang biasa dikenal dengan Shahih Bukhari.
**
Salah satu rahasia briliannya para ulama salaf adalah ‘sterilnya’ mereka dari maksiat. Hal ini pernah diisyaratkan oleh gurunya guru dari Imam Bukhari: Imam Syafi’i rahimahullah.
Imam Syafi’i pernah berujar, “Aku pernah mengadukan pengalaman buruknya hafalanku kepada guruku, Waqi’. Guruku pun memerintahkanku untuk selalu menjauhi maksiat. Ia mengajarkan bahwa ilmu itu cahaya. Dan cahaya tak akan bersinar di hati yang maksiat.
Itukah beda generasi para ulama dengan kita saat ini? Belajarlah untuk seoptimal mungkin terhindar dari maksiat, dan pintu ilmu pun akan terbuka lebar untuk hati kita. [Mh]