MENANGIS tak selalu berarti lemah. Adakalanya menangis justru menunjukkan kekuatan diri seseorang.
Kadang orang dewasa mencemooh anak kecil yang menangis. Bahkan tak jarang, ada kata-kata yang memojokkan sang anak yang menangis, “Gitu aja nangis! Cengeng amat.”
Apa yang didapat sang anak dari pengalaman itu, menggiringnya pada sebuah pemahaman bahwa menangis itu seperti aib, atau ungkapan kelemahan dan kekalahan diri terhadap masalah yang dihadapi.
Sebenarnya, menangis itu sebuah respon normal manusia terhadap hal-hal yang menyadarkannya bahwa ia seorang manusia.
Manusia tak sekuat kucing yang jatuh dari atap rumah tapi bisa langsung jalan tanpa menunjukkan rasa sakit.
Manusia juga tidak sehebat burung yang selalu menatap wajah dunia dari sudut pandang yang lebih luas. Hal ini karena burung melihat sosok-sosok di bumi dari posisi yang lebih tinggi.
Menangis juga menunjukkan bahwa seseorang menemukan kesadarannya yang dasar. Karena hampir semua orang yang lahir selalu menangis.
Dari sinilah, orang yang merasa hina dengan menangis sebenarnya sedang memanipulasi dirinya sendiri tentang siapa dia sebenarnya.
Banyak orang hebat dan kuat juga menangis. Banyak orang mulia juga menangis. Bahkan mereka tak sungkan menangis meski dilihat orang banyak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menangis ketika hujan turun. Para sahabat terheran. Ketika ditanyakan, Rasulullah menjelaskan bahwa seperti turunnya bintik-bintik air hujan itulah manusia masuk ke dalam neraka.
Seorang panglima besar Islam sekelas Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu juga pernah menangis. Ia menangis, betapa ia akan menemui kematian di tempat tidur seperti umumnya orang, padahal di setiap jengkal tubuhnya terdapat bekas luka goresan pedang.
Ia menangis seolah seperti sedang ditunjukkan bahwa dirinya hanya manusia biasa. Manusia yang tak berbeda dengan yang lain.
Ada seorang tabiin yang begitu menikmati taubatnya ketika Allah menyelamatkannya dari lingkungan yang buruk. Ia bernama Fudhail bin Iyadh.
Ia pun bertekad untuk selamanya tinggal di Masjidil Haram untuk ibadah dan berkhidmat bisa melayani jamaah haji yang datang. Sedemikian seringnya ia menangis karena taubatnya, bekas jejak aliran air matanya begitu tampak di wajahnya.
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in juga biasa menangis saat mendengarkan bacaaan Al-Qur’an. Bahkan Umar bin Khaththab yang begitu kekar dan kuat pernah jatuh pingsan karena tak tahan menangis dengan sebuah bacaan Al-Qur’an dari seseorang.
Jadi ketika kesadaran kita terusik. Ketika batin kita mengakui bahwa kita bukan apa-apa di sisi Allah subhanahu wata’ala, silahkan menangis.
Karena boleh jadi, dengan menangis, kita menemukan kembali cahaya terang di hati yang dulu sempat redup dan hilang. [Mh]