BAYI ‘menyentuh’ dunia dalam keadaan menangis dan telanjang. Menangis sebuah gambaran keadaan hati. Dan telanjang gambaran keadaan fisik.
Semua kita pernah menjadi bayi. Lahir dari perut ibu dan datang ke dunia dalam keadaan menangis dan telanjang.
Siapa pun bayi itu, ia akan terlahir dalam dua keadaan itu: menangis dan telanjang. Kecuali mereka yang Allah kecualikan, seperti Nabi Isa alaihissalam, telanjang tapi tidak menangis.
Menangis menunjukkan keadaan jiwa yang tidak nyaman. Sebuah ekspresi fitrah manusia yang menampakkan rasa berat untuk melalui ujian hidup yang panjang.
Telanjang menunjukkan keadaan fisik yang hina. Karena siapa pun yang berkunjung ke suatu tempat, ia akan mengenakan busana yang pantas. Semakin mulia tempat itu, semakin bagus busananya.
Dengan kunjungan tanpa busana, seolah menunjukkan bahwa dunia sebagai tempat yang dikunjungi begitu hina. Seolah seperti tak ada kemuliaan sama sekali.
Bandingkan ketika yang dulunya bayi mati. Ia meninggalkan dunia tidak lagi dalam keadaan telanjang seperti ia datang. Tapi mengenakan busana serba putih yang disebut kain kafan.
Ini seolah menunjukkan bahwa kubur sebagai pintu gerbang alam akhirat jauh lebih mulia dari alam dunia. Bukan hanya busana yang putih, tapi juga terlebih dahulu dimandikan dan dishalatkan.
Menangis dan telanjang tidak menunjukkan kehinaan sang bayi. Karena ia terlahir dalam keadaan fitrah yang suci dan mulia. Yang terhinakan adalah tempat di mana bayi itu lahir, yaitu alam dunia ini.
Karena itu, sepertinya ada pelajaran tersendiri bahwa tempat yang ditinggali bayi hingga besar itu tak perlu menjadi tujuan yang mulia.
Sekiranya dunia ini menjadi perlu untuk mulia, tentu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lebih pantas memperoleh jatah dunia dari siapa pun kita.
Tapi faktanya, sejarah mencatat betapa gemerlap dunia sangat berjarak dengan ruang-ruang kehidupannya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keluarga Nabi pernah tidak mampu menyalahkan api dapur selama sebulan karena tak ada yang bisa dimakan. Dan Nabi tidak mewariskan apa pun dari dunia untuk istri-istri dan puterinya. Seolah ini menegaskan betapa hinanya dunia sehingga tak layak sebagai warisan dari seorang Nabi yang mulia.
Perjalanan hidup yang kita geluti pun pada saatnya akan berakhir. Mata batin kita tiba-tiba tercerahkan dengan sosok dunia yang sebenarnya.
Jangan heran jika para pendosa akan mengatakan di momen kritis itu, “Ya Allah, tundalah ajalku sejenak saja, agar aku bisa bersedekah dan menjadi sosok yang soleh.”
Bersedekah menunjukkan kesadaran bahwa apa yang dimiliki menjadi tak lagi berarti kecuali berubah nilai menjadi pahala. Dan menjadi soleh menunjukkan kesiapan seratus persen untuk melanjutkan hidup di alam baru dengan bahagia.
Kalimat bijak mengatakan, “Beruntunglah mereka yang datang ke dunia dalam keadaan menangis, sementara orang-orang di sekelilingnya tersenyum. Kemudian meninggalkan dunia dalam keadaan tersenyum, sementara orang-orang di sekelilingnya menangis.”
Karena itu, mumpung masih ada peluang untuk berbenah, timbanglah posisi diri saat ini secara adil. Sebagus apa pun dunia yang kita raih, ia tak lebih dari sekadar wadah untuk tempat ujian kita. Esok, semuanya akan kita tinggalkan untuk selamanya. [Mh]