MAU mendengar itu tanda hati sehat. Ia seperti jendela yang memasukkan udara bersih sekaligus mengeluarkan yang kotor.
Siapa bilang mau mendengarkan ucapan orang lain itu mudah. Meskipun hanya mendengar, tanpa ada kegiatan lain yang butuh tenaga besar, beratnya terasa bukan main.
Mendengar itu butuh rasa baik sangka terhadap orang lain. Selain yang lebih berat lagi, kesiapan untuk merendahkan hati.
Memang ada tiga tingkat mendengar. Tingkat pertama, mendengar sebagai indra saja. Karena kita punya telinga, maka sesuatu yang bersuara menjadi terdengar. Sekadar itu saja.
Tingkat kedua, mendengar untuk memahami. Ini tingkatan di mana mendengar menjadi sarana komunikasi. Orang menyebutnya, mendengar untuk saling memahami.
Kalau ada salah paham, dua pihak harus mau saling mendengar agar bisa ditemukan saling kesepahaman.
Ada tingkatan ketiga dari mendengar, yaitu mendengar untuk mengamalkan. Biasanya ini berkaitan dengan perintah atau instruksi. Bukan sekadar untuk dipahami, tapi harus diamalkan.
Para tentara mungkin lebih memahami makna tingkat mendengar yang ketiga ini. Mereka mengesampingkan penafsiran pribadi demi perintah yang harus diamalkan dengan baik.
Untuk yang ketiga ini, Al-Quran dan Hadis kerap menyebutnya dengan sami’na wa atho’na. Atau, ‘alas sam’i wat tho’ah. Artinya, kami mendengar dan kami taat.
Hal ini karena apa yang disampaikan Allah subhanahu wata’ala dalam Al-Qur’an dan Nabi melalui hadisnya tidak perlu ada keraguan tentang kebenarannya. Jadi, harus segera diamalkan.
Pendek kata, mau mendengar itu menunjukkan kerendahan hati. Dan hal ini juga pertanda kalau hati sedang sehat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membuat bingung Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Nabi pernah mengatakan kepada Abdullah bin Mas’ud, “Bacakan untukku ayat-ayat Al-Qur’an.” Dan saat itu mereka sedang berdua.
Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Ya Rasulullah, Anda memintaku membacakan Al-Qur’an sementara Al-Qur’an turun melalui Anda.” Dan, Nabi pun menegaskan lagi permintaannya itu.
Abdullah bin Mas’ud akhirnya membaca Surah Annisa. Nabi pun menyimak dengan baik. Dan pada ayat ke-41, tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menangis. Abdullah bin Mas’ud menghentikan bacaannya.
Ayat itu berbunyi (artinya), “Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat, dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka.”
Ini teladan yang luar biasa. Kalau orang yang ‘di bawah’ mau mendengarkan yang ‘di atas’ itu biasa. Tapi tidak begitu jika sebaliknya.
Dalam sisi hidup yang lain, orang tua yang mau mendengar anaknya juga pertanda luar biasa. Mendengar bukan sekadar basa-basi. Tapi mendengar untuk memahami dan mengamalkan.
Begitu pun seorang bos dengan bawahannya. Seorang komandan dengan prajuritnya. Seorang kakak dengan adik-adiknya. Dan seorang guru dengan murid-muridnya.
Sekali lagi, belajarlah untuk mau mendengar. Selain itu pertanda hati yang sehat, juga menunjukkan bahwa kapasitas ilmu dan skillnya terus bertambah. [Mh]