MANAJEMEN bukan sekadar tentang urusan perusahaan dan organisasi. Bahkan di keluarga dan diri sendiri pun butuh. ‘Fantholaqo’ tentang spontanitas.
Semua urusan harus dengan manajemen. Dan bukan tentang hal besar saja yang butuh manajemen. Hal-hal yang rutinitas biasa pun perlu.
Misalnya, tentang mengelola keluarga, termasuk juga tentang mengelola diri sendiri. Tanpa manajemen, jangankan hal besar, hal-hal kecil tadi juga bisa berantakan dan tak jelas arah geraknya.
Sementara, kata ‘fantholaqo’ lebih menunjukkan spontanitas. Tidak bertele-tele. Dan lebih langsung berhadapan dengan fakta di lapangan.
Kata ‘fantholaqo’ tersebut terdapat dalam Surah Al-Kahfi, ayat 71, 74, dan 77. Yaitu, kisah tentang Nabi Musa alaihissalam yang belajar dengan Nabi Khidir alaihissalam.
Di mana, kata ‘fantholaqo’ menunjukkan cara Nabi khidir yang tanpa basa-basi, tanpa gambaran utuh apa yang akan dilakukan, dan lainnya. Yang penting, langsung bergerak.
Tentu, hal yang terlihat ‘kosong’ itu, tidak kosong dalam akal Nabi Khidir. Ia sudah punya konsep, punya hikmah, punya arah, bahkan punya plan B jika yang dikelola tidak sanggup mengikuti.
Dan plan B itu sebuah konsekuensi yang bahkan sudah disampaikan di awal. Yaitu, terputus dari manajemen yang dilakukan.
Hal ini menunjukkan bahwa berada dalam manajemen ini butuh kesabaran ekstra untuk selalu berbaik sangka dengan pimpinan. Jangan banyak tanya di saat sudah dicontohkan aplikasinya.
Pendek kata, manajemen ‘fantholaqo’ memposisikan pimpinan sebagai sosok paling paham, paling bijak, dan paling berpengalaman. Karena itu, ia selalu berada di depan. Bukan sosok yang hanya menyuruh dan mengawasi di belakang.
Namun begitu, meski awalnya ‘misterius’, tapi akhirnya terjelaskan di akhirnya. Dan terjelaskan menjadi kata kunci yang membuat manajemen ini selalu hidup dan dinamis.
Tanpa kata kunci terjelaskan ini, maka yang terjadi adalah kebingungan dan mungkin tidak saling mempercayai atau curiga.
Manejemen ini juga kerap dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam gerak dakwah terhadap para sahabatnya. Misalnya, pada Perang Uhud, ada perintah untuk pasukan pemanah yang harus standby di bukit, dan jangan pernah turun apa pun yang terjadi di bawah.
Sayangnya, tidak semua sahabat Nabi memahami manejemen ini. Ketika mereka menyaksikan pasukan muslim terlihat menang, mereka pun lupa dan akhirnya turun dari bukit.
Apa yang terjadi kemudian? Pasukan musuh menyerang dari belakang melalui bukit yang semestinya mereka jaga itu. Saat itulah mereka baru tersadar kesalahan fatal yang dilakukan.
Manajemen ini juga dirasa efektif untuk dunia militer. Hal ini dimaksudkan, selain memunculkan ketaatan yang paripurna, juga efektif mencegah ‘bocornya’ strategi ke pihak musuh.
Mau coba model manajemen ini di keluarga dan diri kita? Ada syarat utama selain kecerdasan pimpinan dan ketaatan anggota: pintar jaga rahasia atau jangan gampang ‘bocor’. [Mh]