ALKISAH dalam sebuah pesawat menuju Yordania, seorang habib duduk berdampingan dengan ibu bule paruh baya. Usianya sekitar enam puluhan.
“Anda mau kemana?” tanya sang ibu dalam bahasa Arab yang fasih. Rupanya ibu itu mengira kalau habib berasal dari Arab.
Habib itu pun menjawab, “Saya dari Indonesia.” Juga dengan bahasa Arab. “Dan akan transit di Yordania untuk kemudian terbang ke Yaman,” tambahnya.
Tiba-tiba dengan bahasa Indonesia, ibu itu menanyakan tempat tinggal sang habib. Setelah dijawab berasal dari Jawa Tengah, ibu itu pun menggunakan bahasa Jawa halus menceritakan bahwa ia orang Jerman dan akan kembali ke kampung halaman.
Sang Habib berdecak kagum dengan kemampuan bahasa ibu itu. Akhirnya itu mengakui bahwa ia menguasai dua belas bahasa dan dua puluh delapan bahasa daerah, termasuk di antaranya bahasa Jawa.
Melihat penampilan sang ibu yang mengenakan semacam baju kebaya dengan kerudung tradisional, habib itu menanyakan apakah ibu juga hafal Al-Qur’an.
“Ya saya hafal Al-Qur’an, tiga puluh juz,” ucap sang ibu.
Menurut ibu itu, ia begitu takjub dengan keindahan bahasa dalam Al-Qur’an. Ia pun menceritakan sangat kagum dengan bahasa yang ada dalam kitab-kitab hadis Rasulullah.
“Apa ibu juga hafal hadis-hadis?” tanya sang habib berspekulasi.
“Ya, saya hafal kitab Bulugul Marom dan Riyadhus Shalihin,” jawab sang ibu itu.
Kali ini, sang habib jauh lebih terperanjat lagi. Ia nyaris tak percaya. Ia pun meminta izin untuk menguji apakah yang diucapkan sang ibu itu benar.
Ibu itu pun tak keberatan untuk diuji. Mulai dari beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang dibaca secara acak, hingga beberapa hadis dalam dua kitab itu. Hasil ujinya menunjukkan kalau sang ibu itu memang benar hafal.
“Saya juga tertarik dengan kitab tasawuf seperti Al-Ihya karya Imam Ghazali. Sebegitu tertariknya, saya sudah khatam membacanya lima puluh kali,” ungkap sang ibu.
Kekaguman sang habib kepada ibu itu tak lagi bisa diukur. Luar biasa. Ibu ini benar-benar istimewa, ucapnya membatin.
Tiba-tiba sebuah barang milik ibu itu terjatuh ke lantai pesawat. Ibu itu pun menunduk untuk mengambil barang miliknya. Saat itu, terlihat oleh sang habib sebuah benda berbentuk salib dipegang sang ibu.
Dengan berat hati, sang habib akhirnya menanyakan sempat ia tahan untuk diucapkan, “Maaf, apa ibu beragama Kristen?”
“Oh tidak. Saya sudah keluar dari Kristen,” ucap ibu itu yang diiringi anggukan sang habib.
“Kalung Salib ini peninggalan dari ibu saya yang sudah lama meninggal dunia,” tambahnya lagi.
“Jadi, ibu sekarang sudah beragama Islam?” ucap sang habib untuk memastikan.
“Tidak,” jawab sang ibu di luar yang dibayangkan sang habib.
“Jadi agama ibu apa?” tanya sang habib lagi.
“Saat ini saya tidak beragama,” jawabnya begitu ringan.
“Kenapa ibu tidak masuk Islam? Kalau saja ibu masuk Islam, ibu sudah menjadi seorang ulama,” ucap sang habib mengungkapkan keheranannya.
“Ya, mungkin Tuhan belum memberikan hidayah kepada saya,” ucap sang ibu dengan senyum ramah.
**
Hidayah itu mahal. Sangat mahal. Kita menjadi muslim karena ayah ibu kita seorang muslim.
Boleh jadi, tak pernah terpikirkan oleh kita bahwa menjadi muslim itu karena Allah yang memilih kita menjadi muslim. Allah subhanahu wata’ala menganugerahkan hidayah kepada kita.
Kita mungkin tidak hafal tiga puluh juz Al-Qur’an. Tidak juga hafal Kitab Hadis Bulugul Marom, tidak juga Riyadhus Shalihin.
Namun semua prestasi itu tidak seberapa dengan hidayah Allah yang menjadikan kita sebagai seorang muslim.
Cobalah kita belajar untuk bersyukur, bahwa Allah telah menganugerahkan kita sesuatu yang sangat mahal, yaitu hidayahNya. [Mh]