ORANG kaya itu bisa menjadi pejuang Islam. Bahkan, ia bisa lebih utama dari kebanyakan yang lain.
Sejarah Islam mencatat tentang sosok mujtahid pertama, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Khalifah Umayyah kedelapan ini berkuasa tidak lama. Hanya sekitar dua tahun lima bulan, dari 22 September 717 hingga 4 Februari 720.
Ada sosok wanita hebat di balik Umar bin Abdul Aziz. Ia adalah Fatimah binti Abdul Malik.
Ayah Fatimah adalah mantan khalifah. Dua kakaknya: Al-Walid dan Sulaiman, juga seorang khalifah penerus ayahnya.
Bisa dibilang, Fatimah hidup dalam gelimang kemewahan, sejak kecil hingga suaminya: Umar bin Abdul Aziz, diangkat sebagai khalifah meneruskan sang kakak yang wafat.
Sebenarnya, bukan hanya Fatimah yang sejak kecil bergelimang dengan kemewahan. Suaminya pun begitu. Karena keduanya punya hubungan kekeluargaan yang dekat, yaitu sebagai saudara sepupu.
Dua ayah mereka: Abdul Malik bin Marwan dan Abdul Aziz bin Marwan adalah kakak adik. Sebenarnya, ayah dari Umar bin Abdul Azizlah yang lebih berhak meneruskan kekhalifahan sebelumnya. Tapi karena ia wafat lebih dahulu, maka sang adiklah yang menggantikan.
Meski begitu, diangkatnya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah oleh keluarga tidak tanpa konflik. Hampir saja terjadi perang keluarga. Tapi karena ada kesepakatan, hal itu bisa dicegah. Kesepakatannya: setelah Umar bin Abdul Aziz, kekhalifahan akan dikembalikan ke anak-anak Abdul Malik. Yaitu, Yazid II bin Abdul Malik alias saudara dari Fatimah.
Sosok Umar bin Abdul Aziz bisa dibilang lain dari yang lain. Ia sangat jauh berbeda dengan keluarga besar dari ayah dan kakeknya yang begitu akrab dengan kemewahan.
Hal ini karena Umar bin Abdul Aziz alumnus didikan para ulama Madinah. Bahkan, Kekhalifahan Umayyah mengangkat Umar menjadi gubernur Hijaz yang meliputi Mekah, Madinah, Thaif, dan sekitarnya; juga untuk meredam ketegangan antara para ulama dengan khalifah yang berkuasa di Syam atau Suriah saat ini.
Sebelumnya, ada khalifah yang menjadi rivalitas kekhalifahan Umayyah, yaitu Khalifah Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhuma yang berbasis di Hijaz: Mekah dan Madinah.
Bahkan ketika menjadi gubernur Hijaz pun, Umar bin Abdul Aziz masih bergaya keluarga kerajaan: bergelimang dengan kemewahan.
Namun, Allah memberikannya hidayah ketika ditunjuk sebagai khalifah. Ia menangis dengan penunjukan itu. Ia membayangkan akan mengemban amanah umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang saat itu diliputi dengan konflik dan kezaliman.
Umar bin Abdul Aziz meminta nasihat dari para ulama di Mekah dan Madinah, tempat ia menimba ilmu saat masih belajar.
Ia menyadari bahwa sebab utama penyimpangan dari para khalifah dan raja adalah karena hubbud dun-ya, atau sangat cinta dengan harta. Dari situlah, ia membenahi diri dan keluarganya.
Ia mengatakan kepada istrinya, maukah engkau melepas semua perhiasanmu untuk dikembalikan ke kas negara. Jika tidak, inilah saat perpisahan kita sebagai suami istri.
Fatimah terkejut dengan pertanyaan itu. Tapi, ia lebih memilih suaminya dari semua kemewahan yang selama ini melekat dalam hidupnya.
Meski sebagai khalifah, Umar dan istrinya hidup begitu sederhana di sebuah rumah sederhana yang jauh dari kemewahan. Ia seperti bayangan kakek buyutnya: Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika menjabat sebagai Khalifah Kedua. Ibu dari Umar bin Abdul Aziz adalah cucu dari Umar bin Khaththab.
Begitu banyak langkah perbaikan yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz. Antara lain, membebaskan kewajiban pajak yang selama ini juga dibebankan kepada non Arab yang baru masuk Islam. Ia juga menyetarakan gaji pegawai dan tentara antara yang Arab dan non Arab yang selama ini ada perbedaan jauh.
Dan yang paling populer adalah pada zaman beliaulah pertama kali dilakukan pengumpulan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sayangnya, masa keemasan itu hanya berlangsung singkat. Umar bin Abdul Aziz tewas diracun. Posisi kekhalifahan pun akhirnya dikembalikan ke seperti sebelumnya: anak keturunan Abdul Malik yang juga saudara laki-laki dari Fatimah binti Abdul Malik.
Ketika Yazid II bin Abdul Malik berkuasa, ia mendatangi Fatimah, kakaknya. “Aku akan mengembalikan semua perhiasanmu yang telah disetorkan ke kas negara oleh suamimu,” begitu kira-kira yang diucapkan Yazid II.
Fatimah menjawab, “Bagaimana mungkin aku mengambil kembali perhiasan yang sudah aku ikhlaskan ke kas negara saat suamiku masih hidup.”
**
Bukan karena kaya atau sederhananya seseorang bisa bersikap mulia. Tapi, karena iman dan Islamnya.
Kekayaan dan jabatan hanya aksesoris duniawiah. Iman dan Islam seseoranglah yang akan dibawa menghadap Allah subhanahu wata’ala.
Jika kesadaran ini begitu kuat, apa pun lingkungan dan status duniawiyah seseorang akan mengantarkannya sebagai pejuang Islam yang hebat. [Mh]