ChanelMuslim.com- Naik kelas itu harus diuji dulu. Ada yang lulus, ada yang tidak. Masalahnya, banyak orang hanya ingin naik kelas tapi tak mau ikut ujian.
Siapa pun yang mencintai Islam, mencintai Allah dan RasulNya, ingin mendapat posisi istimewa di sisi Allah. Meski tidak menjadi sahabat Nabi, tidak juga menjadi tabi’in, tidak juga menjadi ulama, tapi bisa menjadi hamba yang takwa.
Dan itulah cita-cita semua orang beriman yang tercermin dalam doa di setiap akhir Surah Al-Fatihah. “Ihdinash Shirothol mustaqim. Shirothol ladziina an’amta ‘alaihim….” Bimbing kami (ya Allah) untuk senantiasa dalam jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat…”
Siapakah jalan yang telah Allah berikan nikmat? Yaitu, para nabi, shiddiqiin, syuhada, dan shalihin.
Nikmat dalam ungkapan ini tidak seperti yang biasa kita bayangkan. Misalnya, duit yang banyak, harta berlimpah, karir yang bagus, jabatan yang menjanjikan, dan lainnya.
Nikmat yang telah didapat oleh para Nabi dan lainnya adalah posisi istimewa di sisi Allah. Meskipun kehidupan dunia mereka biasa-biasa saja. Bahkan, sangat ala kadarnya.
Sepertinya, nikmat berupa posisi istimewa di sisi Allah tak akan pernah senilai dengan perolehan duniawi apa pun. Karena di sisi Allah, nilai dunia itu sendiri tidak senilai dengan sayap lalat.
Sekiranya dunia senilai sayap lalat, tak akan ada orang kafir dan musyrik yang bisa menikmati setetes air sekali pun.
Ada semacam pola yang dialami para Nabi dan orang-orang shaleh sehingga mereka mendapat posisi istimewa itu. Yaitu, Allah uji mereka dengan beban, rintangan, bahkan siksaan. Dan ujung-ujungnya, ujian itu menuju ke satu titik yang hampir sama: menjauh dari materi duniawiyah.
Kecuali, orang-orang tertentu yang memang Allah pilih. Seperti, Nabi Sulaiman, para sahabat, dan salafus shaleh yang prosentase kekhususan ujian ini tidak seberapa di banding yang menjauh dari duniawiyah.
Siapakah orang yang paling shaleh dan amat dicintai Allah di dunia ini? Orang yang posisinya tidak tertandingi siapa pun di sisi Allah. Ya, beliau adalah ustawatun hasanah kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pertanyaannya sederhana. Berapa nilai harta warisan yang telah ditinggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Hampir tidak ada, kecuali rumah sekitar ukuran 24 meter per segi yang kini menjadi bagian dari komplek Masjid Nabawi.
Tidakkah Nabi mewariskan kebun-kebun kurma yang subur? Tidakkah Nabi mewariskan istana kenabian yang megah? Tidakkah Nabi mewariskan berpeti-peti emas? Sama sekali tidak. Hanya rumah yang kira-kira seukuran tadi.
Episod perjalanan hidup Nabi dan para sahabat radhiyallahum ajma’in kian mendekati ajal, kian jauh dari kemegahan dan gemerlap duniawi.
Siapa sangka kalau setelah terbebas dari kungkungan kafir Quraisy di Mekah, Nabi dan para sahabat di Madinah justru mengalami kehidupan baru yang begitu berat, dan belum pernah mereka alami sebelumnya. Yaitu, peperangan yang nyaris tak pernah henti.
Pengalaman hidup apalagi yang lebih berat dari peperangan? Kemungkinan dari peperangan hanya dua: terbunuh atau membunuh. Dua-duanya sebuah keadaan yang begitu berat. Belum lagi soal pemenuhan kehidupan normal keluarga: nafkah mereka, dan lainnya.
Jadi, ketika dalam keasyikan taqarrub kepada Allah, jangan heran jika tiba-tiba dunia dijauhkan. Itulah ujiannya. Dan di balik ujian itu, ada tawaran posisi istimewa di depan mata.
Tinggal semua bergantung pada kita: mau diterima tawaran luar biasa itu? Atau, kelas kita memang hanya kelas remeh temeh yang tak jauh dari lingkaran remah-remah dunia. [Mh]