NALURI manusia suka dengan yang lebih ‘atas’. Itulah kenapa orang lebih sering tersandung dengan yang di ‘bawah’.
Kesuksesan itu menggiurkan. Bukan oleh si pelakunya. Tapi juga oleh orang-orang sekitar.
Kesuksesan ada dua. Ada kesuksesan yang terlihat, seperti jabatan, kekayaan, titel pendidikan, banyaknya pengikut, dan lainnya.
Ada juga kesuksesan yang tidak terlihat. Yaitu mereka yang disebut sebagai muflihun atau orang-orang yang sukses. Mereka sukses karena berhasil lulus dalam ujian dunia.
Kalau kesuksesan yang kedua, mungkin jarang yang melirik. Ukurannya pun lebih banyak tak terlihatnya daripada yang terlihat.
Namun tentang kesuksesan duniawi bukan sekadar banyak dilirik, tapi juga dicari dan dikejar-kejar. Mereka yang sudah sukses umumnya akan menjadi sorotan banyak orang.
Kini, ada posisi kita yang tidak pada posisi sukses yang pertama atau sukses duniawi. Kemanakah arah pandangan kita lebih tertuju: pada yang sukses itu atau pada yang tidak.
Rasanya fitrah manusia akan tertuju pada pemandangan yang sukses, “Wow, mobilnya bagus. Rumahnya mewah. Penghasilannya luar biasa!”
Untuk membangun motivasi kerja keras, mungkin hal tersebut bagus-bagus saja. Seperti orang yang kelelahan mendaki puncak gunung Ketika ia melihat tampilan puncak yang begitu menawan, semangat pun menggilas rasa lelah.
Namun, ada sisi lain yang juga harus diwaspadai. Selalu melihat yang lebih banyak, kadang bisa menyepelekan perolehan yang sedikit.
Padahal dunia ini bukan tujuan dari kehidupan itu sendiri. Dunia ini hanya ‘tempelan-tempelan’. Ada yang ketempelan harta, jabatan, ketokohan, dan lainnya. Pada masanya, semua tempelan itu akan dicabut begitu saja.
Umumnya orang bisa menghargai yang sedikit ketika pandangannya tertuju pada yang lebih sedikit: “Kita jauh lebih beruntung, karena masih banyak yang lebih susah!”
Ucapan ini tentu bukan pembenaran dari ketidakberdayaan diri meraih yang ‘tinggi’ itu. Tapi sebagai ungkapan rasa syukur pada Allah atas nikmatNya, meskipun terasa sedikit.
Yang mesti dipahami, bukan kekayaan, jabatan, atau ketokohan yang membuat orang sukses kelak di akhirat. Melainkan, rasa syukur dan sabar terhadap ujian hidup itu sendiri.
Coba latih pandangan hati untuk sering melihat yang di ‘bawah’, agar ada rasa syukur terhadap nikmat Allah meskipun sedikit.
Sebaliknya, jangan sering-sering memandang yang di ‘atas’. Karena boleh jadi, hal itu akan melenakan kita dengan misi hidup yang sebenarnya. [Mh]