“Siapa yang berbuat curang, maka bukan dari golonganku.” (HR. Muslim)
Kata ‘curang’ biasa didengar di masyarakat kita. Bahkan sejak masa anak-anak, kata ini begitu akrab. Dalam permainan, atau dalam pergaulan sehari-hari.
Namun begitu, jangan dianggap enteng sikap curang. Bukan sekadar merugikan pihak lain, curang juga menunjukkan ada kerusakan mental dalam diri pelakunya.
Pertama, pelaku curang mengalami krisis keimanan. Yaitu tidak lagi merasakan bahwa Allah subhanahu wata’ala Maha Melihat dan Mengawasi. Seakan-akan kalau ia berbuat curang, tak ada yang akan tahu.
Di dunia mungkin tak ada yang tahu. Tapi di akhirat, semua akan dibuka. Bukan sekadar kasus kecurangannya, tapi benda-benda yang dicurangi juga akan dipikul oleh si pelaku sebagai barang bukti di pengadilan Allah subhanahu wata’ala.
“Siapa di antara kalian yang berbuat curang, meski hanya sebuah jarum atau lebih kecil lagi dari itu, maka pada hari kiamat akan ia bawa.” (HR. Muslim)
Kedua, pelaku curang akan terbiasa menghalalkan segala cara. Jika Allah subhanahu wata’ala saja sudah tidak ia anggap, apalagi dengan manusia.
Dalam pandangannya, kalau sesuatu bisa dibuat curang yang menguntungkan dirinya, kenapa harus dibuat lurus. Karena hal itu tidak menguntungkan dirinya.
Karakternya akan ada dalam satu lingkaran: manipulasi dan dusta. Jika tidak ditanya, ia melakukan manipulasi atau curang, ketika ditanya ia akan menjawab dengan dusta untuk menutupi kecurangannya.
Ketiga, tidak punya kesetiaan dalam pertemanan dan persaudaraan. Yang ada hanya pengkhianatan.
Orang yang normal akan merasa nyaman dalam pertemanan dan persaudaraan. Ada saling percaya, saling membantu, dan saling mendahulukan kepentingan saudaranya.
Tapi untuk pelaku curang, tidak ada rumus pertemanan dan persaudaraan seperti itu. Pertemanan hanya ada jika saling menguntungkan. Ketika tidak ada lagi keuntungan yang bisa didapat, ia akan pindah ke ‘korban’ lainnya.
Bisa dibilang, perilaku curang merupakan kelainan psikologis atau kejiwaan. Sebabnya bisa beragam, antara lain pengalaman pola asuh yang salah ketika kecil.
Ketika kelainan ini terindikasi ada dalam diri kita, segera lakukan pembenahan. Segarkan kembali keimanan pada Allah.
Carilah pertemanan dan persaudaraan yang baik dan tulus. Yaitu mereka yang berkelompok untuk kebaikan bersama dan saling melengkapi kekurangan yang ada. Bukan kelompok yang saling mencari celah untuk memanipulasi satu sama lain.
Senantiasa sucikan hati dengan zikrullah. Karena hati yang bersih, dengan sendirinya akan memilih amal yang baik dan persaudaraan yang tulus karena Allah subhanahu wata’ala. [Mh]