ChanelMuslim.com- Mukmin itu bersaudara. Persis seperti satu tubuh. Harus saling bantu dan menguatkan. Bukan saling melemahkan.
Semua kita punya aib. Ada yang karena sebab alami. Ada yang karena perilaku. Yang sebab alami karena memang dari sananya sudah begitu. Seperti keadaan fisik, dan keadaan lingkungan.
Tak seorang pun yang bisa memilih dengan fisik apa ia akan lahir. Dan tak juga bisa memilih, di lingkungan bagaimana ia akan hidup: siapa orang tuanya, kakak adiknya, rumah tangga keluarganya, dan seterusnya.
Yang bisa ia lakukan hanya dua: menutup aib dan berusaha menghilangkan, setidaknya mengurangi aib lingkungannya tadi. Tanpa perlu menyoal dan menyalahkan asal muasal aib.
Yang karena sebab perilaku, memang agak lain. Ada dinamika di situ. Pandangan subjektif juga tidak sedikit. Hal ini bergantung pada tingkat kesolehan masing-masing individu melihat aib diri dan orang lain.
Seperti pepatah lama yang menyebut, kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan. Aib orang lain begitu jelas, aib sendiri tak terlihat sama sekali.
Sebenarnya, membuka aib saudara muslim, kita sedang membuka aib sendiri. Baik individu maupun kolektif. Orang yang membuka aib orang lain sebenarnya sedang memperlihatkan aibnya sendiri. Seolah ia mengatakan, “Inilah aib saya yang suka membuka aib orang lain!”
Dengan kata lain, orang yang suka membuka aib saudaranya sebenarnya sedang terbuai dengan kebodohan dirinya sendiri. Kebodohan bahwa ia tidak melihat aib yang ada pada dirinya.
Ketika sebuah aib saudara muslim terbuka karena pihak ketiga, bukan karena kita yang membuka, sebenarnya Allah sedang menguji kita. Bersyukur atau tidak.
Karena boleh jadi, aib kita jauh lebih besar dari aib orang lain yang terbuka itu. Hanya saja, Allah menutupinya dengan rapat.
Jadi, tak ada untungnya menikmati terbukanya aib saudara muslim. Apalagi, mengutak-atiknya sehingga menjadi lebih besar dari yang sebenarnya. Karena aib yang terbuka itu adalah juga aib kita. Mestinya kita istigfar dan malu.
Tak ada salahnya untuk melatih diri seperti itu. Bayangkan kalau yang terbuka itu adalah aib kita. Kita akan merasa malu dan terkucil.
Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pernah terjadi peristiwa yang mirip seperti ini. Suatu hari, karena ada keperluan untuk mengambil sesuatu, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memanjat sebuah pohon. Para sahabat menyaksikan aksi itu.
Tampaklah keadaan fisik beliau. Kakinya kurus kecil. Sebagian sahabat tertawa secara spontan dengan pemandangan itu.
Nabi pun langsung marah. Nabi mengatakan yang kira-kira sebagai berikut, sekiranya kaki beliau ditimbang di mizan di akhirat nanti, akan lebih berat dari gunung Uhud. Para sahabat pun tersadar dan memohon ampun pada Allah atas kekhilafan itu.
Kalau pun kita merasa yakin bahwa selama ini tak ada aib berat yang dialami, jangan tergerak untuk menikmati aib saudara muslim. Selama seseorang masih hidup, tak ada yang bisa memastikan apakah ia akan selalu baik.
Tak seorang pun bisa selamat dari takdir buruk yang boleh jadi akan menimpanya. Karena ia tak pernah tahu apa yang akan terjadi esok, lusa, dan seterusnya. Seseorang baru bisa dikatakan selamat dari fitnah setelah ia menginjakkan kakinya di surga.
Pandanglah bahwa aib kita jauh lebih besar dari siapa pun. Menjadi seperti tidak memiliki aib, bukan karena memang kita tak punya aib. Tapi, karena Allah yang menutupinya. [Mh]