MATAHARI ‘hidup’ dan ‘mati’ setiap hari. Sekitar 12 jam ia hidup, dan sisanya mati. Setidaknya itu yang kita saksikan tentang matahari dari halaman rumah kita.
Allah subhanahu wata’ala menciptakan segala sesuatu tidak ada yang sia-sia. Ada sisi manfaatnya, ada juga pelajaran di balik keberadaannya.
Setidaknya matahari terlihat selama sekitar 12 jam setiap hari. Dan sekitar 12 jam berikutnya ia ‘menghilang’, seolah mati. Sebenarnya ia bukan mati dan menghilang, tapi berada di sisi dunia lain.
Selama 12 jam ketika terlihat itulah matahari ‘hidup’ bersama kita. Ia ‘hidup’ dalam tiga fase: pagi, siang, dan sore.
Saat pagi, matahari seperti bayi yang baru lahir. Kemunculannya membawa begitu banyak harapan orang sekitar. Tentu harapan-harapan yang baik.
Ada harapan nasib baru yang baik, ada harapan kesuksesan yang selama ini tertunda, ada harapan rezeki yang berlimpah, ada harapan hidup yang membahagiakan.
Harapan itu bukan ditujukan terhadap matahari. Tapi ditujukan oleh mereka yang menjadikan kemunculan matahari sebagai wasilah harapan baru, semangat baru, dan doa baru.
Begitu pun dengan kita saat terlahir dari ibu. Boleh jadi, begitu banyak harapan yang ‘digantungkan’ bersamaan dengan kelahiran kita. Harapan dari orang tua, kakak, paman, dan orang-orang sekitar.
Ketika siang menjulang, ketika matahari persis di atas kepala, itulah momen saat matahari pada posisi maksimal. Waktunya di sekitaran jam 12 siang.
Kita pun seperti itu. Ada saatnya datang posisi puncak tentang kita. Energinya begitu maksimal. Seolah apa pun bisa dicapai.
Momen itu di sekitaran separuh waktu rata-rata umumnya usia umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau usia Rasul sekitar 63 tahun, usia puncak kita di sekitaran 30-an tahun.
Matahari pun tidak selamanya prima. Ada fase di mana ia tampak redup, yaitu di saat sore. Saat itulah begitu banyak orang ingin menyampaikan ucapan perpisahan kepada matahari.
Begitu pun kita. Pada masanya, akan datang di mana sosok kita tampak redup. Energinya mulai melemah. Orang pun mulai mengira-ngira, kapan perpisahan itu akan terjadi.
Matahari di ujung senja telah menorehkan begitu banyak jasa untuk makhluk yang dilewatinya. Ada pepohonan yang tumbuh subur dengan dedaunan hijaunya, ada begitu banyak energi yang terbagikan, dan ada begitu banyak kehidupan lain yang mengambil manfaat.
Orang pun seperti bersedih ketika matahari menuju ‘ajalnya’, sebelum akhirnya malam datang. Ada kehangatan yang hilang. Ada kedinamisan yang lenyap. Dan ada cahaya yang akhirnya memburai.
Pertanyannya, seperti itukah keadaan diri kita di saat ‘senja’ nanti datang? Sudahkah terpuaskan seribu satu harapan dari ayah ibu, kakak, paman, dan orang-orang sekitar kita.
Pertanyaan lainnya, sudah maksimalkah fase prima kita? Tentu ini bukan sebuah tuntutan, tapi sekadar sebuah perbandingan. Karena kita memang bukan matahari yang melalui putaran rutin seperti itu.
Namun begitu, ada juga hal lain yang membedakan kita dengan matahari dalam hal fase putarannya: pagi, siang, dan sore. Yaitu, tak ada yang bisa memastikan bahwa kita akan bisa sampai di waktu sore.
Mumpung masih ada energi dan peluang, maksimalkan potensi hidup kita. Bukan sekadar nilai dunianya. Lebih dari itu, sebagai bekal untuk saat ‘malamnya’. [Mh]