KISAH Sultan Saladin atau Shalahuddin Al-Ayyubi menginspirasi banyak hal. Salah satunya, pelajaran tentang ibda’ binafsik, atau memulai dari diri sendiri.
Namanya Yusuf bin Najmuddin Ayyub. Lahir pada tahun 1138 di Tikrit, salah satu daerah di Irak saat ini. Beliau wafat di usia 55 tahun dan dimakamkan di Damaskus, Suriah saat ini.
Bisa dibilang, Shalahuddin menjadi panglima perang karena kebetulan. Yaitu ketika ia selalu mendampingi pamannya, Syirkuh bin Syadzi yang saat itu menjabat panglima perang di kawasan Damaskus.
Berapa usia Shalahuddin ketika ‘magang’ bersama pamannya? Usianya sekitar dua puluhan tahun. Shalahuddin bisa dibilang seperti ‘qarin’ buat pamannya di semua medan perang melawan tentara Salib yang saat itu sudah menguasai Yerusalem.
Hal itu bukan karena permintaan pamannya, atau pun karena mengincar karir di kemiliteran. Tapi, murni karena tekadnya untuk mengusir tentara Salib dari Yerusalem yang saat ini bagian dari Palestina.
Yang dilakukan Shalahuddin merupakan upaya penaklukan kedua. Pada abad ketujuh, Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga pernah menaklukan Yerusalem dari kekuasaan Salib.
Perhatikan perbedaannya: Umar sebagai khalifah dan Shalahuddin sebagai ‘hanya’ sultan, bukan khalifah. Karena kekhalifahan saat itu dipegang dinasti Abbasiyah yang berpusat di Bagdad, Irak saat ini.
Artinya, penaklukan yang dilakukan sultan Saladin, begitu orang Barat menyebutnya, lebih karena perjuangan dan kegigihan para sultan, bukan khalifah.
Miris memang, bagaimana mungkin kota suci ketiga umat Islam, Yerusalem, bisa jatuh ke tangan Salib justru di saat umat Islam berada di masa keemasannya.
Dan sejarah mencatat, perjuangan yang dilakukan Shalahuddin dan para mujahidin saat itu dilakukan dengan modal uang sendiri, kesadaran sendiri, dan juga tenaga yang mereka miliki. Sementara dukungan dari kekhalifahan saat itu bisa dibilang minim.
Kelalaian besar ini baru disadari kekhalifahan Abbasiyah setelah perjuangan Shalahuddin usai. Bukan karena momen konflik pasukan Salib dengan umat Islam.
Tapi ketika pasukan Mongol berhasil menaklukan kota Bagdad dan membantai hampir satu juta umat Islam di kota yang menjadi pusat peradaban dunia saat itu. Termasuk di antara yang tewas adalah khalifah dan keluarganya.
Kembali ke Shalahuddin yang terus berjibaku bersama mujahidin dengan modal apa saja yang mereka miliki. Syukurnya mereka didukung para sultan di kawasan sekitar Yerusalem: kesultanan Mosul, Aleppo, Damaskus, dan Mesir.
Namun dukungan di wilayah-wilayah itu pun bukan datang dengan sendirinya. Melainkan juga kerja keras Shalahuddin untuk menyatukan semua wilayah itu dalam satu komando.
Lebih dari separuh usianya dihabiskan untuk jihad mengambil alih kekuasaan Yerusalem. Semua pasukan kontingen pasukan Salib kenal betul dengan Shalahuddin. Mulai dari kontingen Prancis, Inggris, Italia, dan dinasti Bizantium yang saat itu berpusat di Istanbul, Turki saat ini.
Meskipun bermusuhan di medan perang, tapi sosok Shalahuddin begitu dihormati para komandan lawan. Ia dikenal baik sebagai panglima yang tidak ingkar janji, mendahulukan dialog dari senjata, menghormati tawanan, dan lainnya.
Pernah suatu kali panglima Salib dari Inggris, Raja Richard, tidak bisa melanjutkan perang untuk sementara waktu karena sakit. Apa yang dilakukan Shalahuddin?
Ia tidak justru memanfaatkan kesempatan untuk memerangi musuh yang sedang tanpa komando. Justru, ia mengirim makanan, obat-obatan, bahkan dokter untuk kesembuhan Raja Richard.
Sedemikian dihormatinya Shalahuddin di mata Barat, bahkan Jerman pun menamai salah satu produk tanknya dengan nama Saladin.
Yerusalem baru bisa direbut Shalahuddin setelah berjihad selama kurang lebih tiga puluh tahun, Konflik pun berakhir ketika di barisan Salib terjadi perebutan pengaruh dan kekuasaan di antara mereka.
Pengepungan yang mereka lakukan terhadap pasukan Shalahuddin yang sudah menguasai Yerusalem pun akhirnya berakhir. Masing-masing pulang ke negerinya dengan perasaan dendam. Bukan terhadap Shalahuddin, tapi terhadap kepemimpinan di antara mereka sendiri.
**
Mulai dari diri sendiri. Itulah di antara pelajaran dari kisah ini. Shalahuddin tidak putus asa berjuang meski tidak didukung ‘para bosnya’ di Bagdad saat itu.
Dan kesadaran itu juga berlangsung di hati para mujahidin dan sultan di sekitar Yerusalem. Mereka berjuang sendiri dan dengan modal sendiri. Meskipun dalam komando yang tidak sendiri-sendiri.
Bayangkan jika Shalahuddin dan para sultan di sekitar Yerusalem ‘mengandalkan’ seratus persen khalifah saat itu. Boleh jadi, Yerusalem tidak pernah ditaklukkan oleh umat Islam untuk yang kedua kalinya.
Seorang pengawal Shalahuddin begitu terkejut berapa harta yang dimiliki Shalahuddin saat beliau wafat. Saat itu sang pengawal ingin belanja kain kafan dan perlengkapan lainnya untuk jenazah panglimanya. Ia hanya menemukan beberapa keping uang perak di kotak penyimpanannya.
Ia baru menyadari, semua harta yang dimiliki Shalahuddin sudah habis untuk membiayai jihad umat Islam. Meskipun Shalahuddin tidak pernah mengatakan itu.
Jenazah Shalahuddin dishalatkan di Masjid Agung di Damaskus. Ia wafat setelah beberapa hari sakit demam. Bisa dikatakan, hampir seluruh umat Islam di Dimaskus dan sekitarnya tumpah ruah untuk mensholatkan dan memakamkan mujahid agung itu.
Shalahuddin menghembuskan nafas terakhirnya setelah seorang qari membacakan Al-Qur’an di kamar tidurnya semalaman suntuk. Ketika qari tiba di Surah Al-Hasyr ayat-ayat terakhir tentang keagungan Allah subhanahu wata’ala, ia mengucapkan ‘shadaqta’, kalian benar.
Jadi, selagi kita bisa melakukan perubahan yang bisa dilakukan, segeralah lakukan. Jangan pernah menunggu keadaan, dukungan, modal, dan lainnya yang datang dari luar diri kita. Karena itulah peluang amal soleh yang Allah sediakan untuk kita. [Mh]