DEMI ilmu agama, mahasiswa asal Uighur ini rela diwafatkan, dianggap meninggal di negaranya untuk memberikan jaminan kepada keluarganya di kampung halaman.
Penulis buku Journey to the Light Uttiek Herlambang menceritakan pengalamannya bertemu dengan mahasiswa tersebut yang tengah menuntut ilmu di sebuah negara.
Hari ini saya beruntung sekali. Tanpa terduga, saya terhubung dengan seorang mahasiswa asal Uighur yang tengah studi di sebuah negara.
Kisahnya hidupnya dramatis. Untuk memberikan jaminan keamanan pada keluarganya di kampung halaman, secara de jure ia sudah “diwafatkan”, sekalipun secara de facto masih segar bugar.
Saya sangat salut pada anak ini, sebut saja namanya Al Fatih.
Ia tidak menunjukkan kegelisahan atau ketakutan seperti orang-orang Uighur yang saya jumpai sebelumnya. Benar-benar seperti mahasiswa tanpa beban yang masih bisa bercanda dan tertawa lepas.
Kegigihannya belajar membuat saya angkat topi. Ia tidak mau meninggalkan negeri tempatnya studi saat ini. Ia ingin menyelesaikan pendidikan sampai mendapat gelar doktor.
Padahal di saat yang sama, ada negara ketiga yang bisa memberikan kewarganegaraan “baru” padanya.
“Untuk apa saya ke sana, lalu selama bertahun-tahun tidak bisa belajar? Saya ingin menjadi ulama. Saya ingin secepatnya menyelesaikan studi,” katanya optimis.
Apa yang terjadi pada saudara-saudara kita di Uighur hari ini adalah luka sejarah yang harus dilalui. Bagaimana keyakinan yang sudah berurat berakar diusik tiada henti.
Islam telah sampai daratan Cina sejak zaman sahabat. Ada beberapa sumber, yang pertama, dibawa oleh para sahabat yang hijrah ke Habasha (Ethiopia).
Mereka berlayar dari Habasha sampai ke Cina pada masa Dinasti Sui berkuasa (581-618 M).
Lalu berikutnya, seperti yang ditulis Chen Yuen dalam bukunya “A Brief Study of the Introduction of Islam to China”, Islam masuk ke Cina pada masa Dinasti Tang (618-905 M).
Dibawa oleh panglima Saad bin Abi Waqqash yang ditugaskan Khalifah Usman bin Affan.
Mahasiswa asal Uighur Ini Rela Diwafatkan Demi Ilmu Agama yang Diperjuangkan
Baca Juga: Warga Uighur Kecam China di Ibukota AS
View this post on Instagram
Setelah keberhasilan ekspedisi pertama, rombongan ini kembali ke Cina. Dan 21 tahun kemudian melakukan ekspedisi kedua, kali ini mendarat di Guangzhou dengan membawa salinan mushaf Alquran.
Delegasi utusan khalifah itu diterima Kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang. Kaisar Yong Hui menghargai ajaran Islam dan menganggapnya punya kesamaan dengan ajaran Konfusionisme.
Sebagai bukti penerimaannya, kaisar mengizinkan didirikannya masjid pertama di Chang-an. Masjid itu bernama Huaisheng atau Masjid Memorial.
Masjid kedua yang dibangun adakah Chee Lin Se, yang berarti masjid dengan tanduk satu. Setelah 14 abad berlalu, kedua masjid itu masih tetap berdiri hingga hari ini.
Masyarakat setempat mempercayai bahwa sahabat Saad bin Abi Waqqash wafat dan dikuburkan di Cina pada 635 M. Kuburannya dikenal sebagai Geys Mazars, yang sampai hari ini ramai menjadi tujuan ziarah.
Terlepas benar atau tidaknya klaim itu, namun di area pemakaman tersebut banyak dimakamkan para mujahid yang mengantarkan cahaya hidayah sampai ke Cina.
Mereka tak masalah di manapun dikuburkan, selama berada di jalan dakwah.
Begitupun dengan Al Fatih yang rela hati “diwafatkan”, demi ilmu agama yang tengah ia perjuangkan.[ind]