SAUDAH, Istri Rasulullah yang mengabdi dengan kesetiaan dan keikhlasan. Demikianlah, Saudah mampu tinggal dalam keluarga Nabi dan melayani putri-putri Rasulullah. la mampu menciptakan kegembiraan dan kebahagiaan dalam hati Nabi dengan keriangan dan kejenakaannya meskipun tubuhnya begitu gemuk.
Keadaan ini berlangsung hingga tiga tahun dan masuklah Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar di tengah rumah tangga Nabi. Saudah memberikan tempat pertama kepada Aisyah dalam keluarga itu. la berusaha sekuat tenaga untuk menyenangkan istri muda itu dan berusaha memberikan ketenangan. Sejak saat itu, berdatangan pula istri-istri Rasulullah yang lain, seperti Hafshah, Zainab, dan lain-lain.
Baca juga: Kisah Hasan bin Tsabit Dibayar Mahal untuk Menjelekkan Rasulullah, Tapi ini yang Terjadi
Kisah Istri Rasulullah yang Mengabdi dengan Kesetiaan dan Keikhlasan (3)
Sayyidah Saudah menyadari bahwa Rasulullah tidaklah menikahi dirinya, kecuali karena kasihan kepadanya setelah ditinggal oleh mendiang suaminya. Saudah melihat hal itu dengan jelas ketika Rasulullah hendak menceraikannya secara baik-baik untuk membebaskannya dari situasi yang beliau rasa melukai hati Saudah.
Ketika Rasulullah menyatakan niat untuk menceraikannya, Saudah merasa dadanya laksana terimpit hingga ia pun berbisik, “Pertahankanlah aku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku tidaklah berambisi untuk memiliki suami, tetapi aku berharap bahwa saat Allah membangkitkanku pada hari Kiamat nanti, aku bangkit sebagai istrimu.”
Rasulullah memandang Saudah dengan iba dan penuh belas kasih. Sejenak, beliau terdiam hingga Saudah kembali berbicara dengan kata-katanya yang tersedu-sedu: “Pertahankanlah aku wahai Rasulullah! Aku rela memberikan malam giliranku kepada Aisyah. Sungguh aku tak menginginkan lagi apa yang diinginkan oleh para wanita.”
Rasulullah mengabulkan permintaan Saudah yang memiliki perasaan yang peka itu. Selanjutnya, Allah menurunkan ayat al-Qur’an berikut:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ … .
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (QS. An- Nisa’: 128)
Saudah tetap tinggal di tengah keluarga Nabi dengan ridha, tenang, dan bersyukur kepada Allah yang telah mengilhamkan kepadanya kata-kata yang bisa diterima oleh Rasulullah agar dirinya tetap bersama makhluk Allah terbaik ini di dunia, sebagai ibu bagi kaum Mukminin dan istri Rasulullah di surga kelak. Dalam keheningan malam, ia pun terbangun dalam ruangnya, menunaikan shalat, dan bersyukur kepada Allah sementara hatinya penuh dengan keridhaan dan iman.
Saudah wafat pada ujung masa kekhalifahan Umar bin Khaththab. Sementara itu, Ummul Mukminin Aisyah selalu mengenang perilaku dan pengaruh Saudah dengan penuh kejujuran. Aisyah mengatakan, “Tidak ada wanita yang aku lebih ingin meniru perilakunya selain Saudah binti Zum’ah. Pada saat sudah renta, ia berkata kepada Rasulullah : ‘Wahai Rasulullah, aku berikan hariku darimu untuk Aisyah. Akan tetapi, ia memiliki sifat yang keras.”
Sumber: Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam – Dr. Bassam Muhammad Hamami
[Vn]