ChanelMuslim.com- Thaif wilayah berjarak kurang lebih 60 mil dari Makkah. Rasulullah hijrah dan berdakwah ke Tha’if pada tahun 10 kenabian (akhir Mei 619).
Baca Juga: Kenangan akan Khadijah, Kekasih Rasulullah
Hijrah Ke Tha’if
Tha’if terletak 100 kilometer sebelah Tenggara Mekah. Tha’if adalah salah satu tempat yang bersejarah dalam perkembangan agama Islam.
Thaif memiliki kota pegunungan dengan ketinggian hampir 2.000 meter diatas permukaan laut. Tha’if adalah kota dagang dengan hasil bumi dan perkebunan buah seperti anggur.
Rasulullah mencoba mengalihkan dakwah langsung keluar Kota Mekah. Bersama Zaid bin Haritsah, Rasulullah pergi ke kota Tha’if. Tiba di kota itu, Rasulullah menemui tiga orang pembesar kota dan menawarkan Islam kepada mereka. Apa tanggapan mereka?
“Bahkan akan kusobek-sobek selubung Ka’bah untuk membuktikan bahwa demikian tidak percayanya aku padamu!” ujar seseorang.
Mendengar temannya bicara seperti itu, yang lain tersenyum mengejek sambil berkata, “Apakah Tuhan tidak mendapatkan orang yang lebih baik daripada kamu? Kalau engkau seorang nabi, pastilah engkau terlalu mulia untuk menjadi teman bicaraku. Kalau bukan, maka engkau terlalu rendah kulayani.” Ujar yang lainnya
Rasulullah meminta tiga pembesar Tha’if yaitu Mas’ud, Abdu Yalail, dan Habib, tidak mengumumkan kepada masyarakat penolakan mereka terhadap beliau. Akan tetapi, ketiga pembesar itu tidak mengabulkan permintaan Rasulullah.
Mereka malah menghasut agar para pemuda mengolok-olok Rasulullah. Mereka keluar dan berteriak kepada orang banyak, “Wahai penduduk Tha’if! Lihat orang ini! Ia mencoba mengganti para berhala kita dengan satu Tuhan baru yang tidak terlihat!”
Beliau berada di tengah penduduk Tha’if selama sepuluh hari. Setiap pemuka masyarakat Tha’if yang datang menemui beliau, pasti diajaknya berbicara dan diserunya.
Akhirnya mereka berkata,” Usir orang ini dari negeri kita dan kerahkan semua rakyat untuk memperdayainya,”
Kemudian, mulailah para pemuda melempari Rasulullah dengan batu. Melihat hal itu, orang-orang kaya tidak mau ketinggalan. Mereka menyuruh budak-budaknya.
“Hei, tunggu apalagi? Ambil batu dan lempari dia! Sekaranglah saatnya kalian bersenang-senang!”
Rasulullah dan Zaid berlari di sepanjang jalan ke luar Kota Tha’if. Mereka diikuti hujan batu disertai gemuruh caci maki dan cemooh gerombolan pemuda dan budak. Batu-batu terbang berbunyi debag-debug menghantam seluruh tubuh Rasulullah meski sudah dilindungi Zaid. Darah suci Rasulullah berceceran di sepanjang jalan.
Baca Juga: Kisah Hijrahnya Umat Islam ke Habasyah
Do’a Rasulullah Ketika di Tha’if
Setelah jauh keluar dari kota, gerombolan orang yang mengejar Rasulullah pun membubarkan diri dengan senyum puas dan mengejek.
Saat itu Rasulullah bertemu dengan seorang istri pembesar Tha’if dari Bani Jumah yang sedang lewat. Perempuan itu memandang Rasulullah dengan rasa kasihan bercampur heran.
“Lihatlah, apa yang ditimpakan kepada kami oleh rakyat suamimu,” sabda Rasulullah.
Mendengar orang Tha’iflah yang menganiaya beliau, perempuan itu berlalu dengan perasaan takut jika diketahui orang bahwa ia menunjukkan belas kasihan kepada Rasulullah.
Untuk melepas lelah dan membasuh luka, Rasulullah dan Zaid berlindung di sebuah kebun anggur milik Utbah dan Syaibah. Keduanya anak Rabi’ah, seorang pembesar Quraisy. Saat itu, keluarga Rabi’ah memerhatikan Rasulullah dari jauh, tetapi mereka tidak berbuat apa pun.
Setelah napasnya kembali normal, Rasulullah mengangkat kepala dan menengadah ke langit. Beliau memanjatkan doa yang amat mengharukan.
“Allahuma ya Allah, kepada-Mu juga aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku, serta kehinaanku di hadapan manusia.”
“Oh Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang, Engkaulah Pelindungku.”
“Kepada siapa hendak Engkau serahkan aku? Kepada orang jauh yang berwajah muram, kepadaku, atau kepada musuh yang akan menguasai diriku?”
“Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli, karena sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku.”
“Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan, dunia, dan akhirat.”
“Janganlah kemurkaan-Mu menimpa aku.”
“Kepada-Mu lah aku menghamba sampai Engkau puas sesuai kehendak-Mu. Tiada yang lebih kuat dan kuasa dari pada-Mu.”
Bersambung