ChanelMuslim.com – Abdullah bin Umar masih memandang jabatan tidak ada artinya saat kondisi umat justru menyedihkan.
Saat ia berada di masa kepemimpinan Muawiyah II, putra Yazid bin Muawiyyah, ia telah menginjak usia lanjut. Namun, setelah beberapa hari Muawiyyah II meninggalkan jabatannya sebagai khalifah karena tidak menyukainya.
Marwan datang kepada Abdullah bin Umar, ia berkata “Ulurkan tangan anda agar kami baiat! Anda adalah pemimpin Islam dan putera dari pemimpinnya!”
Ujar Ibnu Umar: “Apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?”
“Kami gempur mereka sampai mau baiat!”
“Demi Allah,” ujar Ibnu Umar pula “Saya tidak sudi dalam umur saya yang tujuh puluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan saya!”
Baca Juga: Jabatan Tidak Ada Artinya Bagi Abdullah bin Umar (1)
Jabatan Tidak Ada Artinya Bagi Abdullah bin Umar (2)
Marwanpun pergi sambil berdendang:
“Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila. Dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa.”
Yang dimaksud dengan Abu Laila ialah Muawiyah bin Yazid.
Penolakan untuk menggunakan kekerasan dan alat senjata inilah yang menyebabkan Ibnu Umar tak hendak campur tangan dan bersikap netral dalam kekalutan bersenjata yang terjadi di antara pengikut Ali dan penyokong Muawiyah dengan mengambil kalima-kalimat berikut sebagai semboyan dan prinsip:
“Siapa yang berkata: “Marilah shalat!” akan saya penuhi. Dan siapa yang berkata: “Mari menuju kebahagiaan!” akan saya turuti pula.
Tetapi siapa yang mengatakan: “Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya!” maka saya akan katakan ‘tidak’.”
Hanya dalam sikap netral dan tak hendak campur tangan ini, Ibnu Umar tak mau membiarkan kebathilan.
Telah lama sekali Mu’awiyah yang ketika itu berada di puncak kejayaannya melakukan tindakan-tindakan yang menyakitkan dan membingungkannya.
Sampai-sampai Muawiyah mengancam akan membunuhnya. Padahal dia selalu bersemboyan: “Seandainya di antaraku dengan seseorang ada hubungan walau agak sebesar rambut, tidaklah ia akan putus.”
Dan pada suatu hari Hajjaj tampil berpidato, kata: “Ibnu Zubair telah merubah kitabullah!”
Maka berserulah Ibnu Umar menentangnya: “Bohong.. bohong… kamu bohong…!”
Hajjaj yang selama ini ditakuti oleh siapapun juga merasa terpukul mendapat serangan tiba-tiba. Tetapi kemudia ia melanjutkan pembicaraannya dengan mengancamnya akan memberi balasan yang seburuk-buruknya.
Ibnu Umar mengacungkan tangannya ke muak Hajjaj dan di hadapan orang-orang yang sama terpesona di jawabnya: “Jika ancamanmu itu kamu lakukan, maka sungguh tak usah heran. Kamu adalah seorang diktator.”
Tetapi bagaimanapun juga keras dan beraninya, sampai akhir hayatnya Ibnu Umar selalu ingin agar tidak terlibat dalam fitnah bersenjata itu dan menolak untuk berpihak kepada salah satu golongan.
Berkatalah Abul ‘Aliyah al-Barra:
“Pada suatu hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar tanpa diketahuinya. Maka saya dengar ia berbicara kepada dirinya:
‘Mereka letakkan pedang-pedang mereka di atas pundah-pundak lainnya. Mereka berbunuhan lalu berkata: “Hai Abdullah bin Umar ikutlah dan berikan bantuna” Sungguh sangat menyedihkan’
Ia amat menyesal dan duka melihat dari kaum Muslimin tertumpah oleh sesamanya. [Ln]
Bersambung…