ChanelMuslim.com – Episode Lelaki Subuh ditulis oleh Rts. Mardiyati Ismail. Kisah seorang muslim di Jerman yang teguh dan istiqomah dengan ibadah dan keimanannya.
“Dia temenmu sama-sama kuliah? Dia sedang ambil Master juga di sini? Dia ikut tarbiyah?” tanyaku beruntun.
“Aku ketemu dia ketika sedang pratikum di Ulm. Dia juga sedang berjuang menyelesaikan program masternya.”
“Beasiswa?” tanyaku penasaran.
“Ndak. Dia kuliah sambil bekerja part-time di sini.”
“Maksud Mba, beasiswa dari keluarga?” timpalku sambil tersenyum simpul.
“Ndak juga. Dia tidak mau menerima kiriman dari orang tuanya dari Indonesia. Dia nggak tega, soalnya mereka sudah cukup tua katanya,” jawab Adikku sambil tetap menjawab dengan nada serius.
“Oo gitu,” jawabku sambil berfikir, mencari bagian yang aneh tentang temennya tersebut.
Baca Juga: Episode Lelaki Subuh (Bag. 1)
Lelaki yang Selalu Kumandangkan Azan di Kamarnya
“Mba tau, setiap waktu sholat tiba, dia akan segera berwudhu, mengenakan pakaian terbaiknya, dan selalu mengumandangkan azan di kamarnya.” lanjut Adikku dengan kalem.
“Maksudmu? Azan di apartementnya?” tanyaku untuk memastikan pendengaranku.
“Iya. Bila kita kebetulan tidak sedang di luar apartement, dia selalu melakukan hal tersebut.”
“Bahkan ketika kamu sedang berada di kamarnya?” selidikku lagi.
“Iya, dia tidak pernah peduli apakah lagi sendiri ataukah ada teman yang sedang mengunjunginya. Bila waktu sholat telah tiba, dia dengan cueknya azan di kamarnya dengan suara yang syahdu dan mengajak sholat berjamaah.” Dengan semangat Adikku menjelaskan.
“Hmm, unik juga ya.” sahutku sambil mencerna ucapan Adikku.
Setelah hening sejenak, aku kembali bertanya kepada Adikku.
“Adek pernah tanya ke dia nggak, kenapa dia melakukan hal itu?” selidikku penasaran.
“Pernah sih, setelah aku mati penasaran melihat tingkahnya yang nggak cuma sekali itu.”
“Trus apa jawabannya?” Kucondongkan mukaku menanti jawaban dari mulut Adikku.
“Dia bilang waktu sholat sudah tiba, dan dia merasa berkewajiban untuk menyeru menegakkan sholat, menghadap Allah untuk mencapai kemenangan.” lanjut Adikku.
“Tapi kan kadang-kadang di apartemennya cuma ada dia sendirian. So, dia adzan buat siapa?” lanjutku dengan nada yang sedikit tecekat di tenggorokan.
“Iya emang,” jawab Adikku dengan sorot mata berkaca, menggigit bibir bagian bawahnya, berusaha menahan agar bulir kristal dari bening matanya tidak tertumpah.
Mengertilah aku kini, gerangan perasaan yang tengah melanda di hati Adik bungsuku ini. Dia tengah dilanda cemburu.
Baca Juga: Dewan Islam Sebut Ada Kebangkitan Islamofobia di Jerman
Cemburu dengan Kesholehan
Cemburu kepada saudaranya yang mengekspresikan rasa cintanya kepada Allah dengan cara yang tidak pernah terlintas di kepalanya.
“Mungkin itu emang ibadah andalannya.” lanjutku hanya untuk sekadar menetralisasi perasaannya.
“Kamu kan juga punya ibadah favorit yang selalu berusaha istiqomah kamu lakukan dari dulu sampai sekarang.” Kuucapkan kata-kataku dengan sebijak dan setenang mungkin.
Adikku hanya diam, menatapku dengan tatapan yang sulit untuk aku terjemahkan.
“Kamu Insya Allah masih istiqomah kan untuk selalu sholat subuh di masjid?” tanyaku lagi seraya menatap matanya hanya untuk sekadar memastikan.
Adikku mengangguk perlahan.
“Subuh di masjidnya di semua musim kan? Maksud Mba, mau summer ataupun winter kamu tetap sholat subuh di masjid kan?” lanjutku berusaha untuk mencairkan suasana.
Adikku kembali mengangguk.
“Tapi dia juga selalu sholat subuh di Masjid Mba. Mau sedingin apapun winter di sana, dia tetap untuk berusaha sholat subuh di Masjid.” Lanjut Adikku lagi.
“Asik doong, kalo gitu kamu punya temen buat sholat subuh,” lanjutku lagi dengan nada setenang mungkin, dengan segenap gemuruh cemburu di dadaku.
Subhanallah, dari dasar hati yang terdalam, aku benar-benar memberikan dua jempol untuk mereka berdua.
Untuk sholat shubuh tepat waktu, serta berjamaah di masjid —di negeri ini— benar-benar dibutuhkan energi kesholehan yang luar biasa.
Aku tahu, tidak semua orang sanggup melakukannya. Hanya orang-orang yang sudah terbiasa melakukannya dan menjadi bagian yang tak terpisah dari jiwanya saja yang akan sanggup melaksanakannya.
Dengan jadwal shubuh yang tidak tetap seperti di Indonesia, dengan masjid yang tidak selalu ada di setiap kota, serta dengan jiwa yang selalu berusaha istiqomah melakukannya, tentu, hanya akan bisa dilakukan oleh orang-orang pilihan saja!
Baca Juga: Hukum Makan Sahur saat Terdengar Azan Subuh
Episode Lelaki Subuh
“Aku mempunyai beribu kenangan indah dengan temanku ini Mba. Dari dia aku belajar banyak hal. Tentang arti ketulusan, kejujuran, kelembutan hati, dan terutama cara dia mengekspresikan cintanya kepada Allah.
Pernah suatu hari sedang terjadi gerhana bulan. Dia menelponku dan mengajakku untuk melakukan sholat sunnah gerhana bulan di Masjid.
Karena dia mengikuti beberapa kajian di Masjid, Imam Masjid di sana cukup dekat dengan dia, sehingga dia mendapatkan informasi tentang adanya sholat gerhana bulan tersebut.
Aku sih senang-senang saja diajak sholat gerhana bulan. Apalagi waktu itu hari Jumat, dan kupikir Insya Allah tidak akan lama. Aku nggak tau kalau yang bakalan jadi imamnya ternyata seorang hafidz Quran.
Di rakaat pertama beliau membaca surat Ali-Imron, dan di rakaat kedua kalau aku nggak salah beliau membaca surat An-Nisa. Kebayang kan berapa lama jadinya?” Adikku bercerita dengan bersemangat tapi dengan mimik muka yang masam.
Aku hanya tersenyum geli mendengar cerita Adikku.
“Wah, bagus buatmu dong dek! Jadi sekalian ngulang hafalan Ali-Imronmu, haha.” aku berkata seraya tak kuasa menahan gelak tawaku, karena terbayang di benakku wajah Adikku yang manyun dengan kaki yang pegal dan hati bertanya-tanya, kapan sholatnya bakalan kelar!
“Dan Mba tau nggak? Tadinya aku mau komplain tentang imam yang gak care banget dengan jamaah yang mungkin capek karena surat yang dibacanya panjang banget ke temanku itu.
Tetapi ketika aku melihat wajahnya yang begitu bahagia dan tidak sedikitpun terlihat letih, aku urungkan niatku untuk sedikit komplain.
Aku tidak habis pikir, semangat apa yang ada di dalam jiwanya, sehingga dia tidak terlihat lelah sedikitpun kala itu.
Karena aku tahu, beban kuliah ditambah dengan beban untuk mencari rezeki untk menyambung hidup di sini, sudah cukup untuk membuat kita letih.
Setelah sholat gerhana bulan selesai, aku dan temanku pulang dengan mengendarai sepeda kami dan dengan udara yang teramat sangat dingin.
Mba pasti bisa membayangkan gimana cuaca jam 3 pagi di musim dingin di daerah selatan Jerman. Tapi ketika itu, yang aku rasakan hanyalah kehangatan suasana persaudaraan karena Allah semata.
Begitu indah. Di negeri yang hampir sebagian besar penduduknya tidak mengenal Allah, kutemui saudaraku yang begitu dalam kecintaannya kepada Allah, yang bukan hanya sekadar di bibir saja.
Karena tatap mata tidak pernah berdusta Mba. Aku benar-benar temukan binar mata dengan luapan rasa cinta yang begitu indah pada dirinya, ketika dia beribadah kepada Allah.
Dia benar-benar mengayuh sepedanya pulang ke rumah dengan segenap energi cintanya kepada Allah. Kalau mengingat kejadian itu, aku jadi malu sendiri dan serasa bermimpi.
Hari gini, di sini, kutemui salah seorang yang dalam pandanganku begitu mencintai Allah. Dan di hati kecilku aku bertanya, bagaimanakah keadaaan para sahabat di zaman Rosulullah saw, sahabat dan para salafus sholeh?
Bagaimana cara mereka mengekspresikan rasa cintanya kepada Allah?” Adikku menarik nafasnya perlahan dan menghembuskannya dengan penuh kegalauan.
Sungguh, akupun hanya bisa termangu ketika mendengarkan cerita Adikku tentang temannya yang aneh itu. Dan aku menjadi penasaran dengan keanehan yang mungkin saja masih ada dalam dirinya.[saad/ind]
bersambung