ANAK, ujian atau kebahagiaan? Baru-baru ini netizen dikagetkan dengan meninggalnya seorang anak di tempat wudhu sebuah masjid di Lubuk Minturun, Kota Padang, Sumatera Barat.
Meninggalnya sang anak yang tertimpa tembok tempat wudhu itu lantaran aksi pelajar SMP yang melakukan standing motor hingga merobohkan dinding masjid.
Kapolresta Padang, Kombes Pol Ferry Harahap, mengatakan MHA (13) pelajar SMP yang aksinya menewaskan seorang anak usia delapan tahun itu ditetapkan menjadi tersangka.
MHA melakukan standing motor di kawasan Masjid Raya Lubuk Minturun Kota Padang pada Senin (18/9). Saat beraksi, sepeda motor yang ia naiki hilang kendali sehingga menabrak dinding sampai hancur.
Nahas, di balik dinding tersebut adalah tempat wudhu sehingga seorang anak bernama Gian Septiawan Ardani (8) tertimpa reruntuhan dinding hingga tewas.
Inna lillahi wa innailaihi roijun.
Baca juga: Anak Tidak Sempurna Apakah Takdir atau Ujian
Anak, Ujian atau Kebahagiaan? Belajar dari Kejadian Meninggalnya Anak 8 Tahun di Masjid Raya Lubuk Minturun
Penulis buku Journey to the Light, Uttiek M. Panji Astuti menulis, bukan suatu kebetulan kedua anak itu berada di tempat yang sama: yang satu hendak mengaji, yang satunya main sepeda motor free style hingga menyebabkan hilangnya nyawa manusia.
Anak bisa menjadi ujian atau penyejuk mata (qurrota a’yun) bagi kedua orangtuanya. Sebagaimana kisah seorang pemuda shaleh yang ditemui Abdullah bin Al-Faraj yang tercatat dalam kitab “Uyunul Hayat”.
Pemuda miskin itu bekerja sebagai tukang bangunan yang dipekerjakan Abdullah bin Al-Faraj dengan upah 1 dirham dan 1 daniq (1/6 dirham) per hari.
Ia bekerja dengan rajin dan hanya berhenti saat terdengar kumandang adzan untuk pergi ke masjid.
Suatu kali Abdullah bin Al-Faraj kembali membutuhkan jasa pemuda itu untuk memperbaiki rumahnya. Namun ia mencari-cari ke pasar tempat mereka bertemu dulu, pemuda itu tak terlihat batang hidungnya.
“Ia sakit keras. Rumahnya ada di sana,” kata seorang di pasar yang ditanyainya.
Benar saja, sesampai di rumah pemuda itu, ia tengah terbaring tak berdaya dan merasa ajalnya sudah dekat.
“Apakah engkau bisa menerima amanahku?” tanya pemuda itu pada Abdullah bin Al-Faraj.
“Katakan apa yang bisa aku bantu?” jawabnya prihatin.
Pemuda itu lalu menujukkan sebuah cincin yang tersimpan di bajunya. “Kalau aku meninggal, carilah Khalifah Harun Al Rasyid, berikan cincin ini padanya dan katakan hidupku selama ini baik.”
Singkat cerita, setelah pemuda itu meninggal, Abdullah bin Al-Faraj berhasil menemui iring-iringan Khalifah dan menunjukkan cincin itu padanya.
Alangkah terkejutnya Sang Khalifah melihat cincin itu dan bertanya, “Dari mana engkau mendapatkan cincin ini?” tanyanya.
Abdullah Al-Faraj lalu bercerita tentang pemuda miskin itu dan melelehlah air mata Khalifah Harun Al Rasyid.
“Ia adalah anakku. Ia dilahirkan sebelum aku diuji menjadi Khalifah. Ia tidak mau menikmati sedikitpun kedudukanku dan memilih jalan hidupnya sendiri. Cincin itu aku berikan melalui ibunya. Setelah ibunya meninggal, aku tak pernah mendengar lagi kabar dirinya.”
Sang Khalifah lalu minta diantar ke pusara anaknya. Ia bersyukur dikaruniai anak shaleh yang tidak tergoda dengan harta dan kedudukan orangtuanya.
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah ujian (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” [QS. At-Taghabun: 15].
Peristiwa yang terjadi di Masjid Raya Lubuk Minturun Kota Padang itu harusnya menjadi pelajaran bagi kita semua.[ind]