BANYAK yang meyakini bahwa keberkahan bersama para ulama karena mereka memiliki ilmu, keshalihan, dan kedekatan dengan Allah. Hal ini juga disebutkan dalam sebuah hadis yang berbunyi:
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
البركة مع أكابركم
“Keberkahan Allah itu bersama para ulama kalian.” (Silsilah Ash-Shahihah no. 1778)
Berkah artinya kebaikan dari Allah yang berlimpah dan berkesinambungan, sebagaimana asal katanya yaitu al-buruk yang artinya menetap.
Umur yang diberkahi adalah umur yang diliputi oleh kebaikan-kebaikan dan berkesinambungan.
Harta yang diberkahi adalah harta yang diperoleh dengan cara yang halal dan dikeluarkan untuk kebaikan dan berkesinambungan.
Ilmu yang diberkahi adalah ilmu yang menjadi sebab kebaikan bagi pemiliknya, menumbuhkan rasa takut yang benar, cinta yang tulus, harapan yang besar kepada Allah.
Baca Juga: Ketika Banyak Ulama Berduka atas Meninggalnya Steven Indra Wibowo
Yang Dimaksud dengan Keberkahan Bersama Para Ulama
Begitu pula dengan keberkahan para ulama maknanya kebaikan ada bersama mereka yaitu dengan merujuk kepada mereka, bertanya, meneladani mereka dalam kebaikan dari ilmu-ilmu yang diajarkan.
Oleh sebab itu sebagian salaf berdoa,
اللهم استر عيب شيخى عني ولا تذهب بركة علمه مني
“Ya Allah tutupilah dariku aib guruku dan janganlah Engkau hilangkan bagiku keberkahan ilmunya.”
Maka bukanlah yang dimaksud keberkahan para ulama itu dengan berebut bekas air minumnya, mengusap pakaiannya dan jasadnya. Karena yang demikian itu hanya khusus bagi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Sebab itu tidak ada dari kalangan shahabat dan tabi’in yang tabarruk (ngalap berkah) dari bekas minumnya Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali maupun keluarga Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, padahal mereka adalah orang-orang yang shalih dan utama.
Keberkahan para ulama juga tidak dengan mengusap kuburannya, sholat, berdoa dan membaca Al-Qur’an di sekita makamnya. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah,
“Kalau sekiranya berdoa di sisi kuburan, sholat di sisinya, mencari berkah dengannya merupakan suatu keutamaan atau disunnahkan atau diperbolehkan, tentu para shahabat Nabi Muhajirin dan Anshar telah mendahului kita dalam mengamalkannya serta mencontohkannya kepada generasi setelah mereka.”
(Ighotsatul Lahfan 1/204)
Demikian pula Al-Imam Al-Munawi Asy-Syafii menegaskan,
“Shalat di kuburan dalam rangka tabarruk adalah perbuatan yang menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yaitu apabila niatnya ingin mencari berkah dari Allah dengan shalatnya itu di kuburan maka dia telah mengadakan bid’ah dalam beragama.”
(Faidhul Qodir 6/501)
Dan mengusap-usap kuburan dan menciumnya adalah tradisinya orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Ghozzali dalam Al-Ihya’. Siapa yang mengerjakannya maka dia telah tasyabbuh (menyerupai) mereka.
Sumber: Manhajul Haq