ChanelMuslim.com – Wanita Perkasa, oleh: Salim A. fillah
Kartini adalah pahlawan, dengan makna tertentu yang dikandung oleh kata itu, di zaman yang neracanya tak boleh ditakar dengan apa yang ada di masa kini.
Bahwa Kartini, santri Kyai Soleh Darat yang takjub pada Alquran itu melawan ketertinggalan kaumnya, meletakkan dasar kemajuan; harus diakui. Yang jadi soal, dari mana asal ketertinggalan yang dilawannya itu? Dari budaya asli Nusantara?
Sama sekali bukan.
Izinkan saya kembali ke Jawa di masa satu abad sebelum Kartini dan menyebut satu nama: Niken Lara Yuwati (1735-1803).
Baca Juga: Nasihat Umar tentang Jenis Laki-laki dan Wanita
Wanita Perkasa
Barangkali tidak banyak yang mengenal putri ulama besar bernama Kiai Ageng Derpoyudha dari Sukowati ini. Tapi sosok wanita agung ini ada di balik dua perang besar; yang satu nyaris membangkrutkan VOC pada 1746-1755; yang satu lagi nyaris membangkrutkan pemerintahan jajahan Hindia-Belanda pada 1825-1830.
Niken Lara Yuwati, cucu Sultan Bima, Abdul Kahir I dari permaisurinya yang berasal dari Gowa itu, lebih masyhur dikenal sebagai Ratu Ageng Tegalreja, permaisuri Sultan Hamengkubuwana I dari Yogyakarta (1755-1792).
Beliau terampil berkuda, ahli menggunakan patrem (keris kecil), hebat dalam memanah, jitu menembakkan senapan lantak, dan tahan mengarungi perjalanan panjang. Pada Perang Giyanti, dia mendampingi gerilya suaminya menempuh medan yang amat berat di bentangan Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
Dalam masa prihatin itu, di tengah hutan lereng Gunung Sindoro beliau melahirkan sang putra yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana II. Beliau pula memimpin bregada prajurit putri Langen Kusuma, satu-satunya kesatuan yang peragaan perangnya membuat Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels sangat terkesan dalam kunjungannya ke Yogyakarta pada 1809.
Setelah merasa jalan perjuangan putranya tak segaris dengan almarhum suami tercinta, wanita baja ini memilih mengundurkan diri ke Tegalrejo, membuka persawahan makmur dan menampung para ‘ulama serta santri. Sebagian mereka diberangkatkannya berhaji. Dan Kyai Taptayani (Syaikh Taftazzani) dari Minangkabau, diangkatnya pula menjadi guru tetap.
Diasuh pula olehnya sang buyut yang lahir pada 1785, Bendara Raden Mas Musthahar yang kelak dikenal sebagai Diponegoro. Di bawah bimbingan nenek shalihah ini, Sang Pangeran tumbuh sebagai bangsawan-santri yang kelak mengobarkan jihad akbar untuk tegaknya agama di Nusantara.
Sang Ratu tak sempat melihat kejatuhan Keraton Yogyakarta ke tangan Inggris di tahun 1812, ketika buku kesayangannya, Serat Menak Amir Hamzah, kisah kepahlawanan paman Nabi yang setebal 3040 halaman bersama ribuan naskah lainnya, ratusan pusaka, juga emas-perak-permata berpeti-peti dijarah oleh Raffles. Itulah runtuhnya peradaban Jawa, ketika berribu pustaka Keraton Yogyakarta diangkut ke Inggris hingga hilanglah referensinya seperti terjadi pada Baghdad setelah penghancuran oleh Mongol di tahun 1258.
Tapi warisan kesarjanaan Ratu Ageng masih bertahan sejenak; seperti tampak pada Raden Ayu Mangkorowati, Ibunda Diponegoro, dan Ratnaningsih, istri Sang Pangeran; yang keduanya menulis Babad tentang perjuangan anak dan suaminya. Wanita Jawa, cerdas dan perwira!
Mari kembali pada kekaguman Daendels. Kenapa Gubernur Jenderal produk Revolusi Perancis itu takjub pada Langen Kusuma? Karena di masa itu di Eropa, mana ada wanita tampil setara dengan lelaki dalam kesarjanaan maupun ketentaraan seperti para wanita Jawa hasil didikan Ratu Ageng Tegalrejo!
Pada skala tertentu, wanita Jawa di awal Abad XIX jauh lebih maju daripada saudari-saudari Eropa mereka. Jadi apa yang sebenarnya dilawan Kartini di awal Abad XX dari tempat kelahirannya yang pernah melahirkan wanita seperkasa Ratu Sima yang adil memerintah Kalingga dan Ratu Kalinyamat, penguasa Jepara yang menurut De Graaf 2 kali mengirim armada berkekuatan 150 kapal menggempur Portugis di Malaka? Itulah seabad pendiktean peradaban dominasi lelaki terhadap perempuan yang dilakukan oleh Kolonial Belanda terhadap jajahannya![ind]