PARA ulama Aceh biasa menulis dan menyalin kitab pada bulan Ramadan. Tradisi ini sudah berlangsung lama dan bukti otentik ditemukan pada kolofon teks naskah dari Aceh.
Puasa seringkali dijadikan alasan untuk menunda banyak rencana. Padahal sejarah mencatat, justru di bulan mulia ini banyak terlahir karya luar biasa.
Salah satunya, Ramadan tercatat sebagai bulan literasi. Banyak ulama yang mulai menuliskan atau menyelesaikan kitabnya di bulan mulia ini.
Seperti tradisi yang dilakukan ulama Aceh terdahulu. Mereka biasa menulis atau menyalin kitab di bulan Ramadan.
Bukti itu ditemukan di kolofon teks atau bagian penutup dari sebuah kitab yang bertuliskan bulan dan tahun penulisannya.
Baca Juga: Ulama Aceh Gencar Ajak Masyarakat Layarkan Kapal Kemanusiaan Suriah
Ulama Aceh Menulis dan Menyalin Kitab pada Bulan Ramadan
Mengapa bulan Ramadan?
Penulis buku Journey to the Light Uttiek M. Panji Astuti menulis dalam artikel berjudul “Kata Pertama di Bulan Mulia” pada (05/04/2023), selain tentu saja mengejar kemuliaan dan keberkahan bulan ini, alasan lainnya adalah Aceh merupakan tempat transit jamaah haji sebelum melakukan pelayaran ke Tanah Suci.
Biasanya kapal-kapal haji jamaah asal Melayu-Nusantara akan melintas di sekitar bulan Ramadan melalui jalur laut Selat Malaka.
Saat transit di Aceh, mereka akan membawa kitab-kitab masyhur karya ulama Aceh untuk disalin di atas kapal. Seperti kitab karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry.
Kitab-kitab itu antara lain berisi soal hukum, fikih, tata bahasa Arab, tauhid, tasawuf, hingga hikayat-hikayat perang Aceh.
Salah satunya kitab Mir’at Ath-Thullab karya Abdurrauf al-Fansuri (Syiah Kuala) pada era Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam (1641-1675).
Juga kitab Syarh al-Baiquni fi Mustalah ‘Ilm al-Hadist yang disalin oleh Husain bin al-Marhum Abu Bakar al-Asyi dan kitab Bidayat al-Mubtadi bi-Fadhli Allah al-Muhdi, yang keduanya disalin pada bulan Ramadan.
Puncak karya intelektual itu terjadi pada periode Kesultanan Aceh abad ke-17 hingga ke awal 18 M. Sayangnya, tradisi itu tidak lestari hingga kini.
View this post on Instagram
Perjalanan panjang ribuan mil selalu dimulai dari langkah pertama. Begitupun dalam berkarya. Kitab “Al Funun” karta Ibnu Aqil tak akan mencapai 800 jilid, kalau tidak ada kata pertama yang mulai dituliskannya.
Yuks, mulai berkarya dengan menuliskan kata pertama di bulan yang mulia.[ind]