HAFALAN Qur’an juga bisa berkurang. Kenali hal yang merusaknya. Seperti tanaman kesayangan, hafalan Qur’an juga butuh pemeliharaan.
Suatu kali Imam Syafi’i merasakan ada yang tidak beres dengan hafalannya. Ulama jenius ini biasa menghafal apa pun dalam waktu singkat. Tapi, saat itu ia merasakan beda.
Ia bertanya tentang itu kepada gurunya yang bernama Waqi’. Tanpa basa-basi, sang guru menasihati agar beliau meninggalkan maksiat, meskipun dianggap kecil.
Kenapa? Menurut sang guru, ilmu itu cahaya. Dan, cahaya tidak bisa menyinari hati yang noda.
Satu, Jauhi Segala Maksiat
Dalam lingkungan masyarakat yang permisif saat ini, potensi maksiat bisa muncul dari mana dan apa saja. Bahkan bisa dari benda-benda teknologi di sekitar kita, seperti televisi, hape, dan lainnya.
Karena itu, sebisa mungkin untuk menghindari potensi itu. Bahkan orang sekaliber Syaikh Ali Jaber rahimahullah, menghindari semaksimal mungkin berinteraksi dengan hape. Ia menugaskan orang lain untuk mencatat jika ada pesan atau info dari relasi yang tersambung melalui hapenya.
Potensi maksiat melalui hape boleh jadi lebih besar dari televisi. Karena hape sangat privasi. Dan hal yang privasi, tak ada orang lain yang tahu, biasanya sasaran empuk setan.
Dua, Menjauhi Musik.
Menurut ulama Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, musik dan isi Qur’an seperti dua hal yang bertolak belakang. Di mana bertolak belakangnya?
Qur’an mengajarkan keteguhan akidah, sementara musik membuai. Qur’an memerintahkan untuk menjauhi setan, sementara musik menggiring untuk kompromi dengan segala godaan. Qur’an mengajarkan tentang kesucian hati, sementara musik justru menyuburkan khayalan, angan-angan, dan kegundahan.
Dan sejatinya, irama tilawah Al-Qur’an jauh lebih indah dari segala mainan musik apa pun. Terlebih lagi jika musik diiringi dengan syair-syair yang merusak dan mengajak untuk bermaksiat.
Tiga, Satukan Hati dengan Al-Qur’an
Hati menentukan cara orang berpikir, bertindak, dan berbicara. Apa yang ada dalam hati seseorang, seperti itu pula apa yang ia pikirkan, lakukan, dan ucapkan.
Karena itu, jangan letakkan hafalan Qur’an hanya di kepala. Masukkan dan resapkan maknanya di dalam hati.
Caranya, pahami makna dari apa yang dihafalkan itu. Meskipun sedikit demi sedikit. Dengan cara itu, Al-Qur’an akan hidup dalam hati seseorang.
Empat, Interaksi dengan Lingkungan yang Mendukung Hafalan
Pergaulan bisa mewarnai pola pikir seseorang. Bayangkan jika penghafal Qur’an bergaul dengan mereka yang lemah akhlaknya. Sebagai sarana dakwah boleh saja, tapi tidak menjadi teman sandaran.
Lebih utama lagi jika pertemanan bisa saling muraja’ah atau saling menguatkan hafalan. Tentu akan ada fastabiqul khairat atau saling memompa semangat menjadi lebih baik. [Mh]