ChanelMuslim.com – Brawijaya V bangga mendengar laporan bahwa anaknya, Raden Fatah telah berhasil mengembangkan daerah Demak dengan Bandar lautnya yang semakin ramai dikunjungi para pedagang. Untuk mengapresiasi keberhasilannya Brawijaya bermaksud mengangkat Raden Patah menjadi Adipati Anom Bintoro Demak. Pengangkatan itu terjadi pada tahun 1477 M/1399 Saka. Ditandai dengan candrasengkala; Kori Trus Gunaning Janmi.
Kadipaten Demak semakin lama semakin maju berkat dukungan rakyat, para wali dan saudagar muslim di sekitarnya. Wilayahnya meliputi; Surabaya, Madura, Gresik, Tuban, bahkan sampai barat yaitu Kendal dan Cirebon.
Setelah pengangkatan Raden Fatah posisi Kertabhumi Brawijaya V semakin kuat. Namun Pandan salas tetap berambisi merebut tahta majapahit dengan menyiapkan kekuatan untuk menyerang Kertabhumi. Sampai tahun 1471 niat itu belum terlaksana. Kekuasaannya di Kediri sekaligus ambisi dan cita-citanya untuk merebut Majapahit kemudian diserahkan pada anaknya, Dyah Ranawijawa yang kemudian bergelar Prabu Bathara Girindrawardhana Dyah Rana Wijaya.
Girindrawardhana meneruskan ambisi ayahnya untuk merebut tahta majapahit dari Kertabhumi Brawijaya V dan menyatukan seluruh wilayah Majapahit. Puncaknya Girindrawardhana berhasil mengalahkan Kertabhumi dan merebut tahta Majapahit pada tahun 1478 M, yang dikenal sebagai tahun keruntuhan Majapahit yang ditandai dengan candrasengkala sirna ilang kertaning bumi.
Setelah merebut tahta majapahit Girindrawardhana mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit dengan gelar Prabu Brawijaya VI Raja wilwatikta Daha Jenggala Kediri. Gelar itu dimaksudkan untuk menyatukan wilayah majapahit yang meliputi wilwatikta/majapahit, Daha, Jenggala dan Kediri sehingg para adipati tidak memisahkan diri dan agar rakyat mendukungnya sebagai raja majapahit.
Namun, usaha itu tampaknya gagal. bahkan banyak rakyat dan adipati yang menganggapnya sebagai pemberontak dan statusnya sebagai raja Majapahit tidak diakui. Dengan kondisi itu banyak kadipaten yang memisahkan diri dari Majapahit di bawah Girindrawardhana.
Mendengar kabar kekalahan Kertabhumi Brawijaya V, Raden Fatah segera berembuk dengan para wali dan menyiapkan pasukan untuk menyerang Girindrawardhana. Dengan serangan tersebut Raden Fatah berharap dapat melemahkan Majapahit agar tidak mengganggu perkembangan Kadipaten Demak Bintoro yang semakin pesat.
Raden Fatah mengirim pasukan ke Majapahit dan menunjuk Sunan Ngudung, Imam masjid Demak sebagai Manggala Yuda (panglima perang). Serangan Demak tidak lewat jalur laut karena armada laut Majapahit di Tuban dan Ujungaluh masih kuat, dan Juana (Pati) belum sepenuhnya dikuasai.
Jalur pasukan melewati jalur darat yaitu: Grobogan – Blora – Cepu – Bengawan Solo – Balungbendha – Krian – Tarik – dan terus ke jantung kota Mojokerto. Raden Fatah ikut serta dalam serangan tersebut dan para wali yang ikut antara lain: Sunan Ngudung, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan Sunan Drajat serta Pengeran Cirebon (menantu Raden Fatah).
Serangan mendadak dari Demak ini benar-benar merepotkan kekuatan Majapahit. Karena sekeliling Keraton (Pusat Pemerintahan) telah banyak kantong daerah yang beragama Islam seperti : Mejagung (Mojo Agung), Sedayu, Lirboyo (Pare), Tarik (Thariq), Terung, Ampel, dan Giri (Gresik).
Sesuai dengan Isi Naskah Tradisi Cirebon, Prabu Girindrawardhana mengetahui serangan itu, dan menyuruh Raden Kusen (adik Raden Fatah) yang telah diangkatnya menjadi Adipati Terung untuk memimpin pasukan Majapahit menghadapi pasukan Demak, sekaligus untuk menguji kesetiannya pada Raja Girindrawardhana.
Serangan pasukan Demak yang dipimpin Sunan Ngudung terjadi dua kali. Dalam serangan pertama, pertempuran sengit terjadi antara prajurit santri di bawah Sunan Ngudung melawan prajurit yang dipimpin oleh Adipati Terung terjadi di Tuban. Pasukan Sunan Ngudung yang jumlahnya lebih sedikit memberi perlawanan sengit. Dalam serangan ini pasukan majapahit yang jumlahnya lebih banyak berhasil memukul mundur pasukan Demak.
Serangan kedua masih dipimpin Sunan Ngudung (ayah Sunan Kudus). Adipati Terung memimpin pasukan Majapahit bersama Raja Pengging, Andayaningrat dan putranya Kebo Kanigara serta Arya Gugur (Putra mahkota Majapahit dan juga Adipati Klungkung dari Bali). Adipati Terung (Raden Kusen, adik Raden Fatah) yang diangkat menjadi senapati semula menghindar karena tidak ingin berperang dengan para santri dari Demak yang sama-sama muslim.
Adipati Terung dan Andayaningrat adalah dua orang muslim yang mengabdi pada Majapahit. Adipati Terung dan Sunan Ngudung, sama-sama cucu menantu Sunan Ampel. Hanya karena kapatuhan pada perintah Sunan Ampel yang memintanya untuk mengabdi pada Majapahit, ia dengan terpaksa menghadapi pasukan islam dari Demak.
Perang kedua terjadi di Wirasabha, tepatnya di Tunggarana, perbatasan antara Jombang dan Kediri. Rupanya pasukan Majapahit lebih banyak, kuat dan tangguh, sehingga pasukan Demak kalah di medan laga, bahkan Sunan Ngudung terluka parah pada pertempuran kali ini. Dalam keadaan luka parah Sunan Ngudung menarik pasukannya kembali ke Demak. Sesampainya di Demak, tak beberapa lama beliau wafat dan dimakamkan di komplek Makam sebelah utara Masjid Agung Demak. (Ilham/*)