SAHABAT, mari kita telusuri riwayat hidup Imam Malik, salah satu dari empat mazhab yang diakui di dunia selain: Mazhab Imam Abu Hanifah, Mazhab Imam Syafi’i, dan Mazhab Imam Ahmad (Hambali).
Di antara hikmah kenapa kita mempelajari riwayat hidup para ulama seperti Imam Malik adalah agar bisa meneladani pola pendidikan dan pola asuh orang tua para ulama tersebut.
Imam Malik adalah guru Imam Syafii. Dilahirkan sekitar 93 H wafat 179H. Beliau diberi umur yang cukup panjang sehingga menjumpai dua kekhalifahan besar yaitu Bani Ummayah dan Bani Abbasiyah.
Imam Malik berasal dari keturunan orang Arab asli Yaman, keturunan Qohton. Namun ia lahir dan besar di Madinah.
Malik bin Anas bin Malik, kakeknya adalah seorang ulama besar (Nafi’) yang melahirkan Malik dan Anas yang juga para ulama. Jadi Imam Malik lahir dan dibesarkan dari keluarga ulama.
Imam Malik ketika kecil sangat suka bermain, beliau baru sadar untuk menuntut ilmu dengan serius di usia 12 tahun.
Suatu ketika, ayahnya ingin agar Imam Malik mulai mengurangi waktu bermainnya dan serius belajar. Kemudian beliau mengumpulkan semua anak-anak dan saudaranya.
Ayahnya berjanji memberikan hadiah bagi yang dapat menjawab pertanyaan.
Setelah mereka berkumpul, ayahnya mengajukan pertanyaan berkaitan dengan agama, saudaranya Nadhr bisa menjawab pertanyaan ayahnya sedangkan Malik kecil tidak bisa.
Kemudian ayahnya berkata: “Sungguh bermain burung telah melalaikanmu dari menuntut ilmu.”
Malik kecil marah dengan pernyataan ayahnya. Malik mengekspresikan marahnya dengan hal positif yaitu serius ingin menuntut ilmu.
Baca Juga: Ujian Masa Tua Imam Bukhari
Riwayat Hidup Imam Malik, Gurunya Imam Syafii
Imam Malik rahimahullahu mengisahkan,
Aku berkata kepada ibuku, “Aku akan pergi untuk belajar”. Ibuku berkata, “Kemarilah!, Pakailah pakaian ilmu!”.
Lalu, ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu.
Setelah itu, dia berpesan, “Sekarang, pergilah untuk belajar”. Dia juga pernah mengatakan, “Pergilah kepada Imam Rabi’ah (guru Imam Malik). Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya”.
Kemudian, barulah beliau serius menuntut ilmu. Setelah itu, selama 7 tahun, dia duduk bersama para ulama agar bisa seperti kakaknya.
Dan ketika Imam Malik berusia antara 17 atau 18 tahun (riwayat lain mengatakan 22 atau 23 tahun), ia sudah berfatwa. Berarti waktu belajarnya sebentar, dari usia 12 thn.
Imam Malik berkata, bahwa beliau tidak berfatwa sebelum diberi rekomendasi 70 orang ulama.
Tidak ada yang berhak berfatwa di Madinah ketika ada Imam Malik.
Beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari riwayat hidup Imam Malik adalah sebagai berikut.
1. Bermula dari ayah
Ayah yang berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan anaknya agar menuntut ilmu. Ayah Imam Malik mendudukkan Malik kecil bersama saudaranya dan memberi pertanyaan.
2 Adab adalah prioritas utama. Dahulukan adab.
Kisah ibu Imam Malik yang menyiapkan baju terbaik untuk Imam Malik ketika hendak belajar, seperti pakaian para ulama. Dan ia berpesan tentang pentingnya adab.
Ada kaidah tak tertulis bahwa guru akan memberikan ilmu lebih pada murid yang beradab.
Zaid belajar bahasa ibrani 15 hari, bahasa syiria 13 hari. Berarti: Bahasa Al-Qur’an yang sudah dijamin lebih mudah akan lebih cepat selesai.
Jika adab anak-anak sdh terpegang, maka ilmu apapun yang diberikan pada anak-anak, mereka akan siap.
Imam Malik menjalankan adab di majelisnya sangat ketat sekali. Beliau memiliki beberapa pengawal untuk menertibkan peserta majelisnya.
Jika ada yang melanggar adab, pengawalnya langsung menegur bahkan bisa dikeluarkan atau bisa dihukum pukul. Imam Malik bahkan memiliki penjara sendiri bagi para pelanggar adab.
“Ilmu itu didatangi bukan mendatangi.” (Imam Malik)
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi” (Rasul Shallallahu alaihi wa sallam)
Maka, anak para khalifah pun mendatangi Imam Malik untuk belajar.
Jika ilmu dikhususkan untuk orang-orang khusus saja (anak-anak khalifah), ilmu tidak akan bermanfaat, baik orang umum ataupun orang khusus.
Imam Malik bahkan tidak memberikan tempat khusus untuk anak khalifah. Inilah kemuliaan ilmu.
Maka, mari menghormati para pengajar anak anak kita. Ilmu tidak bisa dibeli dengan uang.
“Jika engkau meninggikan ilmu, ilmu itu akan tinggi. Jika engkau rendahkan, maka ilmu itu akan rendah”.
Imam Syafii ketika mau belajar pada Imam Malik, maka Imam Syafii menghafalkan dulu kitab Al-Muwatho karya Imam Malik.
Kemudian ia meminta rekomendasi walikota Mekkah untuk walikota Madinah. Akan tetapi, walikota Madinah mengatakan bahwa:
“Wahai Nak, sungguh berjalan kaki dari Mekkah ke Madinah adalah jauh lebih ringan daripada pergi ke rumah Malik” begitulah kemuliaan imam Malik.
Di zaman kebesaran islam, ilmu dan ahli ilmu sangat dimuliakan.
AlMuwatho, tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an kecuali Al-Muwatho (Shohih Bukhori belum ada).
Imam Malik memberikan pelajaran sekitar 10-12 hadis. Jika ada murid yang menginginkan hadis lebih dari itu, Imam Malik memanggil pengawalnya untuk mengusir murid tersebut.
Karena ilmu itu mahal, dan setiap orang harus berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya.
Imam Malik akan sangat marah jika ada yang bertanya: “Dalilnya apa?”, hal itu tidak beradab, bahkan bisa dipenjarakan.
Mengapa Imam Malik sangat ketat dalam adab? Karena menurutnya, ilmu Fiqh Imam Malik adalah level tertinggi. Imam Malik memiliki ushul fiqh sendiri. Tidak beradab bertanya dalil pada ulama di level tertinggi fiqh.
Imam Malik dan murid-muridnya sangat hormat pada Nabi dan hadis Nabi.
Jika ada yang bertanya tentang hadis, maka Imam Malik akan pulang dulu ke rumahnya, mandi, berganti pakaian, memakai harum-haruman, baru memberi hadis.
Karenanya, ilmunya menjadi berkah. Sampai sekarang, kita bisa mendapati ilmunya. Pahalanya tak terputus.
Apalagi terhadap Al-Qur’an, harus beradab.
“Tidak akan baik umat ini kecuali mereka diperbaiki sebagaimana generasi awal diperbaiki.”
3. Dudukkan ilmu sebagaimana mestinya
Jangan karena sudah merasa membayar mahal jadi meremehkan ilmu dan ahli ilmu. Muliakan ilmu, muliakan gurunya. Pelajari adabnya agar kita semua mudah menerima ilmu.
4. Firasat guru untuk memotivasi para murid
Firasat Imam Malik terhadap muridnya, Imam Syafii juga pada para muridnya bahwa mereka akan jadi orang besar, maka ternyata memang firasatnya benar. [Wini/Bairanti]
Disarikan dari Taklim bersama Ustaz Ali Shodiqqin Markasan, Lc