LUKA lama yang abadi. Sekelompok aktivis anti-Islam membakar Alqur’an di depan Kedutaan Besar Mesir dan Turki di Kopenhagen, Denmark.
Aksi ini digelar setelah protes serupa di Denmark dan Swedia dalam beberapa pekan terakhir yang membuat marah umat Islam.
Pemerintah Denmark dan Swedia mengatakan mereka menyesalkan pembakaran kitab suci umat Islam tersebut, namun tidak dapat mencegahnya di bawah peraturan yang melindungi kebebasan berbicara. [Republika, 26/7]
Kebencian Eropa terhadap kitab suci umat Islam itu bukanlah hal baru. Penulis buku Journey to the Light, Uttiek M. Panji Astuti menulis, sejarah panjang berkelindan dengan jatuh-bangunnya relasi Islam dan Eropa selama berabad-abad.
Berawal dari jatuhnya Andalusia, seorang pemuka agama bernama Peter the Venerable merasa perlu menerjemahkan Alqur’an dengan tujuan meyakinkan umat Nasrani di wilayah Andalusia bahwa agama mereka yang lebih baik.
Ia memerintahkan orang Inggris yang fasih berbahasa Arab bernama Robert of Ketton, untuk menerjemahkan Alqur’an dalam bahasa Latin.
Alqur’an terjemahan itu diberi judul “Pseudoprophete Lex Mahumet -Hukum Nabi Palsu Muhammad”. Judul yang sangat tendensius dan melukai perasaan umat Islam.
Baca juga: Abu Bakar Ar-Razi, Guru Besar Kedokteran Muslim di Eropa (Bag.3)
Luka Lama yang Abadi
Lebih menyakitkan lagi, ia menuliskan dalam kata pengantarnya, “[Saya melakukan ini] untuk mengikuti kebiasaan para Bapa yang tidak pernah mendiamkan ajaran sesat apa pun, menolak ajaran sesat dengan segenap kekuatan iman mereka, dan mengungkapkannya sebagai sesuatu yang menjijikkan dan terkutuk dalam tulisan dan argumen mereka.”
Dan secara resmi pada tahun 1309, Paus Clement VI melarang penyebaran Alqur’an di wilayah Andalusia, meski untuk kepentingan akademis.
Eropa sepertinya lupa kalau nenek moyang dan para pemuka agama mereka pun pernah dengan rela hati mempelajari Alqur’an dan bahasa Arab, sebagaimana yang dilakukan Gebert of Aurillac, yang kelak dikenal sebagai Paus Sylvester II.
View this post on Instagram
Ketika Eropa berada di zaman kegelapan dan kebodohan, para bangsawan dan pemuka agama dikirim ke madrasah-madrasah Islam yang menjadi sumber ilmu dan pengetahuan untuk belajar.
Salah satunya adalah Jami Al Qarawiyyin atau Universitas Al Qarawiyyin yang berada di kota Fez, Maroko. Di sana yang dipelajari pertama adalah Alqur’an, baru kemudian ilmu-ilmu lainnya.
Seiring Andalusia jatuh ke tangan Isabel dan Ferdinand, segala bentuk persekusi dan intimidasi dilakukan terhadap umat Islam.
Namun itu semua tak menyiutkan nyali para Mujahid untuk terus menghafal dan menderaskan bacaan Alqur’an secara sembunyi-sembunyi.
Sejarah mencatat, meski segala cara mereka lakukan, namun Alqur’an tak pernah benar-benar bisa mereka lenyapkan dari tanah Eropa, hingga hari ini.[ind]