ChanelMuslim.com– Sebuah pertanyaan kadang menggelitik di saat sesuatu yang kita harapkan belum juga tercapai. Padahal, berbagai upaya telah dilakukan, setidaknya menurut kemampuan kita. Pertanyaan itu adalah kita yang mengubah keadaan atau keadaan yang mengubah kita?
Untuk menjawab ini memang tidak mudah. Walaupun, idealisme kita memang secara sadar akan menjawab bahwa kitalah yang mengubah keadaan. Bukan keadaan yang mengubah kita.
Baca Juga: Cara Umar bin Abdul Aziz Mengubah Kerajaan Bani Umayyah dari Penuh Kerusuhan Menjadi Negeri Berkah
Kita yang Mengubah Keadaan atau Keadaan yang Mengubah Kita
Namun dalam kenyataannya, apa yang kita idealkan itu tidak semudah yang dibayangkan. Tidak semudah menulisnya dalam secarik kertas. Tidak juga semudah mengucapkannya meskipun didengar banyak orang.
Secara sederhana, kita mungkin bisa menjawab sebuah pertanyaan: siapa di antara kita yang bukan produk dari perubahaan keadaan? Contoh, generasi tua yang besar di masa orde baru memiliki paradigma dan cara berpikir yang berbeda dengan generasi masa reformasi. Biasanya, mereka lebih lamban, lebih kolot, lebih takut, dan lainnya. Setidaknya, generasi mereka lebih gaptek dari generasi masa reformasi.
Kenapa bisa berbeda, padahal hidup di wilayah yang sama? Tentu karena keadaannya yang berbeda. Keadaan di masa orde baru dengan reformasi sangat berbeda. Walaupun tidak semua generasi masa orde baru tidak selalu lebih buruk dari sekarang.
Pertanyaan lain, kenapa anak-anak di Arab Saudi lebih mudah menghafal Alquran daripada di Indonesia? Jawaban sederhananya, karena mereka sudah terbiasa dengan bahasa Arab. Jawaban lain, karena di Arab Saudi menghafal Alquran sudah menjadi tradisi sejak zaman nenek moyang mereka yang tidak lain adalah para sahabat Nabi saw.
Sementara di negeri kita, jangankan terbiasa menghafal, membacanya saja banyak yang belum benar. Dan nenek moyang kita memang bukan seperti yang di Arab, melainkan para nelayan dan petani.
Pertanyaan lain, kenapa warga etnis Tionghoa lebih pandai berdagang di banding warga pribumi? Padahal, tidak terdengar adanya kursus dagang yang dilakukan secara gencar untuk anak-anak mereka. Artinya, modal dasarnya nyaris sama: sama-sama tinggal di negeri ini dan sama-sama tidak ikutan kursus atau pelatihan.
Dalam hal gaya hidup dan selera pun juga begitu. Ada perbedaan antara satu generasi di sebuah keadaan dengan generasi lain di keadaan yang berbeda. Contoh, anak-anak suku Minang lebih gemar rasa pedas di banding anak-anak warga Solo. Yang lainnya, orang-orang yang berasal dari Sumatera suaranya lebih lantang daripada yang asli Pulau Jawa.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa keadaan selalu membentuk generasinya. Terutama, dalam hal cara berpikir, berperilaku, dan bercita-cita.
Lalu, apakah hal itu menjadi jawaban bahwa keadaanlah yang membentuk kita dan bukan kita yang membentuk keadaan?
Untuk secara detil menjawab ini, kita bisa urai kalimat pertanyaan tersebut. Ada dua subjek di situ: keadaan dan kita. Jika keadaan yang menjadi subjek, maka keadaanlah yang mengubah kita. Tapi jika kita yang menjadi subjek, kitalah yang mengubah keadaan.
Dengan kata lain, untuk menjawab siapa yang melakukan perubahan, jawab dulu siapa subjeknya. Kalau sebuah generasi menganggap bahwa keadaanlah yang pantas dan dibiarkan terus-menerus sebagai subjek, maka keadaan pula yang terus mengarahkan, membentuk, dan membimbing perubahan.
Namun, jika secara sadar, sebuah generasi berusaha keras untuk menjadi subjek, maka generasi itu yang akan mengarahkan, membentuk, dan membimbing perubahan. Ada yang harus digarisbawahi: secara sadar dan berusaha keras.
Kenapa? Karena keadaan seperti ruangan sebuah bus yang nyaman. Penumpang bisa terlena untuk betah berlama-lama dalam bus. Padahal, lokasi pemberhentiannya sudah tiba. Saat itulah terjadi konflik kecil, apakah ia akan mengikuti kemana pun bus pergi, atau memaksakan diri untuk melawan kenyamanan untuk keluar dan meninggalkan ruang nyaman itu demi bisa tiba di tujuan yang diinginkan.
Contoh, apa yang dirasakan penduduk Jepang pasca terkena bom atom di Hiroshima dan Nagasaki? Jawabannya adalah duka karena ratusan ribu orang tewas, 65 persen bangunan hancur, sisanya hantu radiasi yang membayangi cacat fisik dan nasib bayi-bayi yang lahir setelah masa itu.
Namun, apakah warga Jepang terus merasa nyaman dalam zona aman keputusasaan? Ternyata, tidak. Mereka memang produk sebuah keadaan yang menyedihkan dan menyengsarakan itu. Tapi, mereka berhasil bangkit, untuk berada di zona lain: bukan sebagai pengikut keadaan, tapi sebagai pengubah keadaan. Walaupun, hal itu dilakukan dengan darah, keringat, dan air mata.
Dari perjuangan keras itu, warga Jepang berhasil bukan sekadar mengubah keadaan diri dan lingkungannya. Bahkan, berhasil menjadi pemimpin keadaan untuk warga dunia. Setidaknya, dalam hal ilmu dan teknologi yang meningkatkan kemakmuran negeri mereka.
Pertanyaan yang sama coba tujukan untuk diri kita seperti yang telah dilakukan warga Jepang. Apakah keadaan yang terus mengubah kita sehingga menjadi apa adanya, atau kita yang harus bekerja keras untuk mengubah keadaan?
Jawabannya memang tidak cukup hanya dengan idealisme dan doa. Melainkan harus diwujudkan dalam dunia nyata. Caranya? Mulailah dari yang kecil karena tidak ada yang besar tanpa lebih dulu kecil. Mulailah dari yang sedikit, karena tidak ada yang banyak kecuali terlebih dahulu sedikit.
Maha Benar Allah dalam firmanNya, Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. 13: 11)
(Mh)