BAYANGKAN Rasul yang mulia menghela nafas sejenak. Dapat kita rasakan kata-kata itu menggetarkan dada orang-orang yang diliputi iman itu.
Bayangkan tempat itu mendadak senyap, kecuali suara Rasulullah yang teduh.
Beberapa sahabat mulai menitikkan airmata.
“Apakah ada hasrat di hati kalian pada dunia?” tanya Rasulullah tanpa susulan jawab dari para sahabat. “Padahal, dengan dunia itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam.”
Rasul mulai menjelaskan alasan kebijakannya. Bayangkan para sahabat Anshar yang mengangguk paham dalam diam.
“Sedangkan terkait keimanan kalian, aku sudah teramat percaya.”
Kata-kata itu begitu dalam dan jujur. Tetes airmata tak kuasa lagi ditahan.
Terlebih ketika Rasulullah melanjutkan, “Apakah kalian tidak berkenan di hati, jika orang-orang lain pergi membawa onta dan domba, sementara kalian pulang bersama Rasul Allah?”
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Sebuah perbandingan yang kontras. Kesadaran itu hadir tidak tiba-tiba.
Tangis para sahabat meledak. Jika bukan karena iman, kekuatan apa yang mampu menghadirkan kesadaran setelah kekecewaan?
Sungguh, iman merekalah yang menyebabkan semua itu terjadi.
Kisah di atas teramat panjang. Dari dalamnya kita belajar bagaimana dalam komunitas kebaikan sekalipun, kekecewaan itu nyaris tak dapat dielakkan.
Setiap kita mungkin pernah kecewa. Sebabnya bisa bermacam-macam.
Tapi sebagiannya karena kita tak persepaham dengan orang lain, apakah kelakuannya, kebijakannya, pernyataannya, perhatiannya, atau apapun.
Kita pun bisa kecewa karena merasa tidak mendapat dukungan yang memadai.
Dari Ji’ranah Kita Belajar Mengelola Kecewa (2)
Di dalam bilik-bilik rumah bisa lahir kekecewaan.
Suami kecewa pada istri atau sebaliknya, istri kecewa dengan suami.
Di ruang-ruang kerja, kekecewaan dapat juga timbul. Di manapun ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kekecewaan bisa hadir tiba-tiba.
Kecewa itu bisa muncul dimana-mana, bahkan dalam dakwah sekalipun.
Sekali lagi, dalam dakwah, kecewa bisa juga tumbuh bagai ilalang.
Sebabnya bisa bermacam-macam. Gagasan yang dianggap tidak diperhatikan, selera-selera yang tak sama, kebijakan pemimpin yang tak memenuhi keinginan dan logika kita, perilaku dan tindakan saudara seperjuangan yang menjengkelkan, rumor yang menikam kita, dan yang lain.
Hanya kekuatan imanlah yang mampu menjaga kita dari penyikapan yang salah saat kecewa.
Sebagian di antaranya menyikapi dengan ngambek serta mutung.
Sebagian yang lain menyikapi dengan cara-cara yang lebih arif dan bijak.
Baca juga: Dari Ji’ranah Kita Belajar Mengelola Kecewa (1)
Jika kecewa datang menggerogoti, periksalah kekuatan iman kita, periksa pula niat-niat kita dalam beramal dan beraktivitas.
Jangan biarkan, kekecewaan ditanggapi dengan aktivitas yang tidak memuliakan kita.
Jangan pula sampai kekecewaan menyeret kita pada devisit iman dan juga devisit emosi.
Kita berdakwah, misalnya, bukan karena ingin selalu disenangkan. Bukan.
Fokus saja pada amal, meski upaya menggerogoti diri kita amat gencar.
Misalnya, sering terdengar, “Ngapain kamu berjuang tulus begitu, lihat kelakuan yang lain. Mereka cuma memanfaatkanmu.” Kita beramal bukan karena kelakuan orang lain.
Allah sudah memiliki mekanisme seleksi bagi siapapun yang lacur di jalan dakwah ini. Cukuplah bagi kita untuk husnudzan dan terus istiqamah beramal.
Mari kuatkan diri. Kita memilih jalan dakwah semata karena berharap ridha Allah dan komitmen di dalamnya.
Semoga Allah menjaga keistiqamahan kita dan menguatkan keikhlasan kita dalam beramal.[Sdz]
Sumber: Serambi Ilmu dan Faidah