POTRET sebagian remaja kita saat ini sepertinya tidak baik-baik saja. Ibarat puncak gunung es, apa yang tidak mencuat ke publik boleh jadi jauh lebih besar.
Sebuah berita miris terjadi beberapa tahun lalu. Seorang siswi kelas sembilan di Jawa Tengah ditemukan tak bernyawa karena gantung diri. Polisi mengkomfirmasi tidak ditemukan tanda-tanda tindak kekerasan terhadap korban.
Sebut saja siswi itu berinisial K. Anaknya baik dan pintar. Pernah meraih juara puisi tingkat kabupaten. Salah satu target capaian prestasi yang ingin ia raih adalah bisa masuk SMA negeri.
Hari tragedi itu bertepatan dengan pengambilan raport saat ia di kelas sembilan. Di rumah itu, hanya ia dan sang kakak. Ibunya sedang ke sekolah untuk mengambil raport, sementara ayah dan adiknya pergi ke masjid.
Awalnya K dan kakaknya berada bersama di kamar. Tapi, K pergi meninggalkan kamar. Karena lama tak kembali, sang kakak mencari-cari K. Ia begitu terkejut dan histeris saat menemukan adiknya sudah bergantung diri.
Pihak keluarga menyangkal kalau ibu korban pernah memarahi korban karena perolehan nilai akhir sekolah. Yang jelas, K bukan sekadar tak bisa masuk SMA negeri impiannya, tapi juga tak lagi bersama keluarga itu untuk selamanya.
Remaja Merasa ‘Tertekan’
Boleh jadi, kisah miris K menunjukkan keadaan remaja-remaja lain di negeri ini. Mereka merasa tertekan oleh suatu hal yang di luar kemampuan dirinya.
Sebabnya bisa macam-macam. Bisa itu datang dari lingkungan sekolahnya, teman bermain, orang tua atau keluarga, bisa juga dari dalam diri remaja itu sendiri.
Menariknya, sebuah penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen remaja merasa depresi atau insecure. Mereka merasa tertekan dengan sesuatu yang di luar kemampuannya.
Rasa insecure inilah yang menjadikan remaja mengalami kurang sehat mental. Dan jika salah penanganan, akibatnya bisa fatal.
Butuh pola asuh yang baik agar para remaja bisa melalui tekanan mentalnya. Dan pola asuh yang utama adalah dari keluarga itu sendiri.
Semoga tidak ada lagi kasus K yang lain. [Mh]