NABI shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para pemuda untuk segera menikah. Syaratnya, sudah punya kemampuan untuk ba’ah. Apa itu ba’ah?
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai para pemuda, siapa yang sudah memiliki kemampuan untuk ba’ah maka hendaklah ia menikah. Sesungguhnya menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Jika tidak mampu, hendaklah berpuasa sebagai perisai dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apa sih makna ba’ah?
Para ulama memaknai ba’ah dengan dua hal. Makna pertama, ba’ah adalah kemampuan atau hasrat untuk melakukan hubungan seksual atau jima’. Makna kedua adalah kemampuan secara finansial.
Dengan begitu, jika ada seorang pemuda yang sudah punya hasrat untuk berjima’ dan sudah memiliki kemampuan finansial, maka menikah adalah pilihan yang tepat. Jangan lagi ditunda-tunda.
Pertanyaannya, bagaimana jika salah satu atau kedua makna itu belum ada? Solusi yang disampaikan Nabi adalah dengan melaksanakan puasa sunnah.
Tentu solusi ini tidak bersifat permanen. Jika ikhtiar sudah mencapai kemampuan ba’ah itu, maka disegerakan untuk menikah. Bukan sebaliknya, tidak merasa perlu untuk ikhtiar karena merasa cukup hanya dengan berpuasa sunnah.
Pertanyaan berikutnya, lebih besar mana porsi dari dua makna ba’ah itu: apakah hasratnya atau kemampuan finansialnya?
Kalau merujuk dari pengalaman hidup para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum, banyak sahabat yang menikah dalam keadaan miskin. Bahkan sangat miskin.
Dan Nabi tidak melarang sahabat yang miskin itu untuk melangsungkan pernikahan. Bahkan Nabi ikut membantu mereka hanya untuk sekadar memberikan mahar ala kadarnya atau mencarikan dana semampunya untuk dibelikan makanan walimahan.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa ba’ah lebih besar porsinya kepada makna kemampuan hasrat untuk berjima’. Sementara tentang finansial, bisa diikhtiarkan semampunya.
Bahkan di Surah An-Nuur ayat 32, Allah subhanahu wata’ala berjanji akan memberikan rezeki bagi para lajang miskin yang bertekad untuk segera menikah. “…jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karuniaNya….”
Pertanyaan selanjutnya, apa ada pemuda yang secara finansial tergolong mampu tapi secara hasrat seksual belum mampu?
Perkembangan sebuah generasi bergantung salah satunya karena lingkungan. Di masa Nabi, lingkungannya sangat baik, sehingga tidak heran jika pemuda saat itu siap mental untuk menikah di usia masih sangat muda. Meskipun secara finansial masih minim.
Di antara mereka ada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Beliau menikah di usia 20 tahun dan istrinya yang juga putri Nabi, Fathimah radhiyallahu ‘anha, pada usia 19 tahun.
Apakah Ali bin Abi Thalib sudah sukses secara finansial saat menikah itu? Sama sekali tidak. Setelah menikah, bahkan beliau bekerja sebagai buruh kasar di seorang saudagar Yahudi di Madinah.
Nah sekarang, di zaman saat ini, lingkungan generasinya tidak sedang baik-baik saja. Tidak heran jika pemuda di usia dua puluhan, bahkan ada yang tiga puluhan, merasa belum perlu untuk menikah. Padahal secara finansial mereka sudah tergolong mampu.
Alasannya, mereka masih ingin bebas. Bebas menghabiskan waktu dengan berbagai hobi yang mereka suka.
Bagaimana dengan hasrat seksual mereka?
Nah tampaknya di sinilah batasannya. Jika sudah ada keinginan atau hasrat untuk berjima’, maka mereka sudah tergolong mampu secara ba’ah. Karena itu tidak ada alasan lagi untuk menunda nikah.
Tapi jika hasrat untuk berjima’ pun tidak ada, karena masih asyik disibukkan dengan berbagai hobi-hobi itu, maka boleh jadi mereka memang belum mampu secara ba’ah.
Meski begitu, mereka dianjurkan untuk memperbanyak puasa sunnah. Karena perangkap setan bisa melalui apa saja di saat seseorang tidak sedang berpuasa. Wallahu a’lam. [Mh]