CINTA sejatinya tumbuh subur di rumah tangga. Suami cinta istri, begitu sebaliknya. Tapi, bagaimana jika cinta tak merekah? Apa yang salah?
Mungkinkah suami istri hidup tanpa cinta? Rasanya hampir tak mungkin. Karena pernikahan selalu menumbuhkan cinta.
Tapi bagaimana jika hal itu benar terjadi? Apanya yang salah: proses pernikahannya, atau individu suami istrinya?
Rumah Tangga tanpa Cinta
Perasaan hidup tanpa cinta, bisa datang dari siapa saja: bisa dari suami, bisa juga dari istri. Uniknya, rumah tangga tanpa cinta bisa berlangsung lama.
Seorang istri bernama Putri, bukan nama sebenarnya, adalah salah satu kasus di antaranya.
Putri menikah dengan pria soleh sejak belasan tahun lalu. Suaminya bukan hanya soleh dan ganteng, tapi juga berpendidikan tinggi. Rasanya tak ada masalah yang pantas muncul.
Selama belasan tahun menikah itu, Putri sudah menjadi ibu dari tiga orang anak. Tiga anak itu pun tumbuh baik. Sebagian mereka sudah sekolah.
Dari segi ekonomi juga tak ada masalah. Penghasilan suami baik-baik saja. Tidak besar dan tidak juga kecil. Cukup untuk mereka.
Masalahnya itu tadi. Putri merasakan kalau suaminya tak mencintainya. Bagaimana mungkin bisa? Apa mungkin punya tiga anak dari hubungan tanpa cinta?
Problem Komunikasi
Tidak semua pasangan suami istri memahami pentingnya komunikasi antar mereka. Mungkin saja mereka soleh. Mungkin saja mereka berpendidikan tinggi. Tapi tentang komunikasi memang harus dipahami dan dianggap penting.
Karena tidak semua orang yang punya kriteria baik itu, punya kemampuan berkomunikasi. Karena komunikasi adalah paradigma dan skill tersendiri.
Komunikasi juga identik dengan mereka yang biasa dengan otak kanan. Tidak heran jika mereka yang berlatar belakang pendidikan dengan hafalan tinggi, skill komunikasinya umumnya minim. Begitu pun dengan yang berlatar belakang ilmu eksakta yang selalu serius.
Karena itu pelajari skill komunikasi. Tapi sebelum itu, ubah paradigma bahwa ada orang lain yang harus memahami kita, dan kita pun butuh memahami orang lain. Terlebih orang lain itu adalah suami atau istri yang sudah hidup serumah.
Komunikasi yang baik bukan muncul dari pikiran egois bahwa orang harus memahami kita. Sebaliknya, kitalah yang harus memahami bagaimana orang memahami kita.
Kenalkan diri kita siapa. Maunya kita bagaimana. Dan sebaliknya, komunikasikan bagaimana orang lain mengenal kita dan memahami apa maunya kita.
Berkomunikasi dengan Cinta
Cinta itu bukan sekadar tentang hati. Tapi juga terucap di lisan dan terbukti dalam perbuatan.
Karena itu, jangan biarkan suami atau istri menyimpulkan cinta melalui persepsi. Tapi harus diucapkan dengan bahasa sederhana dan lugas: “Yang, aku sangat mencintaimu!”
Tapi, kata-kata itu harus tulus. Bukan dari contekan, apalagi sebagai rayuan gombal. [Mh]