IT’S all about heart. Segalanya tentang hati. Ia seperti raja yang sangat berkuasa. Yang selainnya dalam tubuh, hanya mengikuti kehendaknya.
Hati itu seperti raja. Segala kehendaknya harus dipatuhi oleh seluruh anggota tubuh. Kalau sang raja baik, baik semuanya yang di tubuh. Begitu pun sebaliknya.
Mentalitas sebagai Cerminan Hati
Mentalitas adalah cerminan dari keadaan hati seseorang. Gradasinya mengikuti sejauh mana hati mengalami perubahan.
Karena itu, mentalitas terbentuk dari proses panjang sejak dari buaian. Itulah yang disebut dari pola asuh lingkungan. Bisa dari orang tua, keluarga besar, dan lingkungan sekitar.
Lingkungan yang ‘horor’ akan membentuk dua keadaan ekstrim. Bisa menjadi sangat penakut, bisa juga menjadi sangat kejam.
Lingkungan yang culas, akan membentuk hati yang menghalalkan segala hal. Baik buruk bukan lagi pada timbangan kepatutan, tapi bergantung kepentingan. Sayangnya, kepentingannya sangat dangkal sebatas syahwat.
Sebagai contoh, silahkan bohongi anak setiap hari, maka ia akan tumbuh menjadi pembohong ulung. Silahkan teror anak setiap hari, maka ia akan menjadi sosok yang penakut. Silahkan manjakan anak dengan semua yang diinginkan, maka ia akan tumbuh menjadi hedonis.
Ubah Sang Raja, bukan Pasukannya
Jika ingin mengubah mentalitas seseorang, diri sendiri, atau orang banyak, maka yang pertama disasar adalah hatinya. Sedang pola pikir, kebiasaan, dan lainnya akan terbentuk secara gradual.
Mengubah hati bukan perkara gampang. Orang yang menguasai tubuh seseorang, belum tentu akan mampu menguasai hatinya.
Begitu pun dengan anggota tubuh. Bukan cara memandang yang harus diluruskan. Bukan cara berjalan yang harus dibimbing. Bukan cara bicara yang harus diajarkan. Bukan cara berpikir yang harus dibimbing. Tapi, bersihkan dan warnai secara total hatinya.
Belajar dari Dakwah Para Nabi dan Rasul
Para Nabi dan Rasul berdakwah dalam koridor bimbingan Allah subhanahu wata’ala. Tidak ada kreativitas pribadi-pribadi mereka. Semuanya dibimbing Allah subhanahu wata’ala.
Tahap awal adalah menyentuh hati. Hati itu raja. Sang raja akan tersentuh dengan sesuatu yang di luar kemampuannya. Yaitu, dengan ‘menyadarkannya’ bahwa ada Raja di atas raja. Yaitu, Allah subhanahu wata’ala.
Sebenarnya, menuju jalan kembali lebih mudah daripada melanglang buana tak tentu arah. Dan hati adalah fitrah yang suci saat ia dilahirkan bersama tubuh yang menyertainya.
Ketika hati tersentuh, ajak ia kembali ke asalnya, yaitu fitrahnya yang suci. Bersihkan secara total, bukan sebagian-sebagian.
Kemudian, isi kembali dengan pengagungan kepada Allah subhanahu wata’ala. Tidak ada yang patut ditakuti kecuali Allah. Tidak ada yang patut dicintai, kecuali Allah. Tidak ada yang patut dikejar, kecuali Allah. Dan seterusnya.
Di situlah mungkin kenapa Allah subhanahu wata’ala mewarnai ayat-ayat Makiyah, saat awal para sahabat menerima Islam, dengan nilai-nilai akidah yang mendasar yang kokoh.
Ketika hati sudah memiliki fondasi, baru bisa ditugaskan dengan berbagai beban. Itulah mungkin hikmah kenapa ayat-ayat tentang ibadah, infak, jihad; turun di masa Madaniyah, atau saat para sahabat sudah mapan keadaan hatinya.
Maha Benar Allah dalam firmanNya, “…siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan petunjuk kepada hatinya…” (QS. At-Tagabun: 11)
Jadi, ubah keadaan hati, mentalitas akan terbentuk dengan sendirinya. [Mh]