ISU penculikan memang begitu emosional. Terutama para ibu. Tapi kadang, reaksi yang salah tidak bisa menyelesaikan masalah.
Suatu kali, seorang ibu menerima telepon dari sosok yang tak dikenal. Ia mengabarkan kalau anak si ibu telah ia culik. Ia minta tebusan dengan jumlah tertentu dan jangka waktu tertentu.
Betapa paniknya si ibu. Ia berteriak-teriak histeris usai menerima telepon misterius itu. Seluruh keluarga ikut panik. Begitu pun para tetangga.
Mereka panik dengan dua hal. Tentang penculikan, dan tentang jumlah tebusan yang teramat sangat besar untuk ukuran keluarga yang penghasilannya pas-pasan.
Akhirnya, mereka pun sepakat untuk lapor ke polisi. Tapi sebelum melapor, tiba-tiba anak yang dikabarkan telah diculik pulang.
Sang ibu terkejut. Ia langsung memeluk anak perempuannya. “Kamu nggak papa, Nak? Kamu lari dari penculik?” ucap ibu diiringi dengan wajah-wajah lain yang ikut ingin tahu.
Masih dengan seragam SD, sang anak bingung. “Aku nggak papa. Aku cuma pingin pipis,” ucap sang anak sambil berjalan ke arah kamar mandi.
Barulah semuanya tersadar kalau telepon misterius itu hanya pihak yang ingin mencari keuntungan di tengah kehebohan isu penculikan.
Baca Juga: Lagi, Heboh Penculikan Anak
Belajar Tenang Hadapi Isu Penculikan
Drama isu penculikan di atas seperti menyadarkan kita tentang sejumlah hal. Antara lain:
Satu, kadang isu di media sosial yang begitu gencar bisa menghipnotis kesadaran. Padahal, isu penculikannya tidak jelas, seperti lokasinya, video yang hoaks, dan tidak ada laporan resmi dari pihak ke polisian yang biasanya dirilis melalui media massa.
Dua, penculikan umumnya dilakukan dengan dua motif. Pertama karena ingin mencari uang tebusan ke pihak orang tua. Biasanya dialami oleh orang tua yang kaya raya. Karena tidak mungkin penculik mengharapkan tebusan uang banyak dari orang tua yang tidak punya banyak uang.
Motif kedua dilakukan oleh psikopat. Yaitu orang yang menculik karena ketidakwarasan, dendam, target acak, dan lainnya. Untuk tipe ini biasanya tidak ada telepon atau minta uang tebusan. Korban bisa disayang-sayang tanpa sebab, dan bisa dijerumuskan juga tanpa sebab.
Jadi, kalau orang tua yang uangnya pas-pasan mendapatkan telepon misterius untuk minta tebusan. Rasanya, kemungkinan hoaksnya lebih besar.
Baik motif pertama atau kedua, sangat jarang terjadi di Indonesia. Dari laporan media, sekitar dua puluhan kasus per tahun. Bandingkan dengan kasus begal, perampokan, pencurian sepeda motor, dan lainnya.
Namun begitu, data tersebut tidak lantas mengecilkan kasus penculikan. Yang penting adalah tidak panik dan segera melaporkan ke pihak kepolisian.
Tiga, jangan lampiaskan kepanikan pada anak. Jangan karena hanya terhipnotis isu di medsos, anak dipaksa orang tua untuk ikutan takut, bingung, dan lainnya.
Yang dibutuhkan anak itu bekal pemahaman dan kesadaran tentang bahaya penculikan. Bukan ditakut-takuti sehingga menjadi ikutan irasional.
Biarkan anak-anak menjalani rutinitas mereka secara normal. Seperti, ke sekolah, mengaji ke masjid atau TPA, bermain dengan teman-teman, dan berintraksi dengan tetangga. Jangan buat halusinasi di pikiran anak.
Empat, bacakan dan ajarkan doa pada anak. Yaitu doa agar terlindung dari kejahatan seperti yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. [Mh]