BEBERAPA pihak belum memahami bagaimana posisi ijtihad di dalam khazanah Islam serta bagaimana sikap menghadapi perbedaan ijtihad, utamanya terkait penetapan satu Syawal 1444 H, sehingga tak sedikit yang melemparkan tudingan negatif pada siapa saja yang menyelisihi ijtihad yang di ambil oleh pihak lain.
Salah satunya yang sempat ramai di jagat media sosial terkait ujaran kebencian yang dilontarkan oleh Thomas Djamaluddin terkait ijtihad Muhamadiyah tentang penetapan Idul Fitri 1444 Hijriah/2023. Ia menuding bahwa Muhamadiyah bersikap tidak taat pada keputusan pemerintah.
Terkait hal tersebut, Ustaz Fahmi Salim, seorang Dai, Penulis dan Founder Al-Fahmu Institute, Pusat Dakwah Qur’an Jakarta, dalam akun instagramnya @ufsofficial memberikan beberapa catatan:
Baca Juga: Ustaz Fahmi: Bencana Alam Bentuk Kasih Sayang Allah Swt
Catatan Ustaz Fahmi Salim Terkait Sikap Menghadapi Perbedaan Ijtihad
1. Sikap Muhammadiyah dalam mempertahankan hasil ijtihadnya bukanlah ego organisasi, melainkan totalitas dan loyalitas menegakkan sebuah fatwa yang solid secara syar’i dan sains.
2. Kesatuan dan persatuan umat tidak bisa diwujudkan dengan cara pemaksaan kehendak dan sikap otoriter, apalagi dibalut arogansi kekuasaan.
3. Term yang digunakan beliau adalah tidak taat kepada pemerintah dan metode hisab yang sudah usang.
Nampaknya beliau perlu belajar lagi tentang konsep ulil amri dan relevansinya dengan sistem ketatanegaraan RI, dan fakta bahwa metode rukyat adalah sarana dalam menentukan waktu ibadah yang bersifat ijtihadiyah.
Sarana itu terbatas di jamannya dan akan selalu berkembang seiring kemajuan iptek.
4. KH. Ahmad Dahlan saat meluruskan arah kiblat agar tepat sesuai arah ka’bah satu abad lalu dan beragam ijtihad dan tajdid faham agama lainnya bukanlah untuk memecah belah umat. Konsistensi ijtihad pada akhirnya melahirkan etos pencerahan umat.
Dan kini ijtihad itu diterima menjadi konsensus umat dalam meluruskan arah kiblat sholat.
5. Semua pihak harus menghormati hasil ijtihad yang berbeda selama dalam persoalan yang menjadi wilayah ijtihad ulama dan bukan masuk ranah pokok akidah, ibadah dan syariah yang konstan dan solid sebagai ciri Islam sebagai agama wahyu yang otentik dan final.
Ruang wilayah ijtihadi apalagi terkait fenomena alam seperti hilal mesti memperhatikan kaidah ilmiah sains selain kaidah ijtihad yang sudah baku.
6. Perbedaan hasil ijtihad adalah kekayaan khazanah intelektual umat Islam yang patut disyukuri, bukan untuk diratapi atau disesali.
Sebab itulah berlaku kaidah suatu ijtihad yang sah tidak boleh dibatalkan oleh ijtihad lainnya dan jika seorang mujtahid benar maka ia mendapat dua pahala dan jika keliru maka ia mendapat satu pahala.
Penyelesaian ikhtilaf dalam masalah ijtihadi dikembalikan kepada sikap toleransi otentik dan rendah hati untuk menghargai dan menerima perbedaan itu dengan lapang dada, bukan dengan menuding pihak lain tidak mau diselesaikan (baca: diseragamkan) dan ingin dilestarikan.
7. Berapa banyak hasil ijtihad Khalifah Umar bin Khattab yang akhirnya menjadi kaidah beragama dan kebijakan Khalifah Usman bin Affan menyatukan mushaf Quran yang awalnya ditentang karena dianggap baru dan tak pernah ada di zaman Rasulullah hidup akhirnya menjadi ijma ulama dan umat Islam.
Jangan kuatir dan takut berlebihan menyikapi hasil ijtihad suatu generasi. Karena itu tidak akan mengubah dan merusak pondasi-pondasi utama bangunan Islam, namun justru semakin mempercantik dan memperindah Islam dari waktu ke waktu dengan kekokohan dan kekenyalan/elastisitas yang sesuai dengan perkembangan sains dan iptek.
Wallahu a’lam