ChanelMuslim.com- Akhirnya, pertemuan dua capres pasca pilpres terwujud. Prabowo dan Jokowi bertemu dalam suasana santai di kereta MRT, Sabtu (13 Juli 2019). Dengan mengenakan baju putih, keduanya menampakkan wajah santai di hadapan publik.
Banyak makna dan tafsir yang bisa diamati dari bertemunya dua tokoh penting ini. Secara umum, keduanya ingin menyampaikan kepada masyarakat Indonesia bahwa “perang” pilpres 01 dan 02 sudah berakhir.
Yang berarti bahwa istilah negatif “cebong” dan “kampret” sudah menjadi sebutan masa lalu. Cap kelompok 01 dan 02 sudah tidak ada lagi.
Namun begitu, pertemuan yang dalam istilah politik sebagai rekonsiliasi ini tetap menyimpan tafsiran lain yang masih terbuka untuk diulas.
Pertama, rekonsiliasi ini bisa dibilang milik Jokowi. Dalam posisi ini, Jokowi sangat diuntungkan dengan pertemuan ini. Karena menyudahi suasana “perang” 01 dan 02 dari rekonsiliasi ini berarti mempersilakan proses kelanjutan pemerintahan presiden terpilih.
Pemilihan tempat pertemuan yang dilakukan di kereta MRT bisa menunjukkan banyak hal. Tapi yang tampak jelas adalah bahwa MRT adalah produk kebijakan publik yang terakhir yang harus terus dilanjutkan dan dikembangkan.
Dengan kata lain, gangguan atau hambatan poliik sekaligus sosial yang dirasakan Jokowi, walaupun secara simbolik, sudah tersingkir. Ibarat pelari yang berada di ambang garis finis, kakinya tidak lagi terjerat tali lawan.
Kedua, dari makna ini bisa ditarik tafsiran bahwa pihak Jokowi telah “membayar” sesuatu kepada Prabowo sebagai harga transaksi rekonsiliasi. Ada yang diberikan dari Jokowi dan ada yang diterima oleh Prabowo.
Apa? Tafsiran ini tidak ingin mengatakan bahwa transaksi tersebut berupa nilai uang. Sepertinya, nilai uang sudah menjadi yang tak lagi diperhitungkan oleh kedua tokoh ini.
Transaksinya boleh jadi berupa pembayaran sesuatu yang terambil dari Prabowo oleh kubu Jokowi. Terutama, rehabilitasi kubu Prabowo yang selama ini sudah terseok-seok sebagai akibat “perang” pilpres yang memakan waktu hampir satu tahun.
Seperti diketahui, begitu banyak tokoh ulama yang menjadi terjerat dan terjirat selama “perang” tersebut berlangsung. Dan secara normal, para tokoh ulama ini harus kembali kepada kehidupan yang wajar seperti sebelumnya.
Mereka harus melanjutkan misi dakwah kepada umat tanpa harus diwaspadai, tanpa harus mengalami hambatan: fisik maupun psikis.
Walaupun, bagi para tokoh ulama tersebut, perjuangan di lini politik ini masih akan tetap sebagai jalan jihad utama mereka. Tapi, hal tersebut berada pada skala jangka panjang. Dan jangka pendeknya, para tokoh ulama ini harus hidup wajar, aman, dan berada di tengah lingkungan masyarakat pendukungnya yang butuh arahan dakwah yang lebih luas.
Bukan hanya tokoh ulama.. Ada juga tokoh-tokoh lain yang butuh rehabilitasi bahwa mereka adalah tokoh terhormat yang berjuang untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan sebagai kriminal, pengkhianat, dan stigma lain yang sangat menyakitkan.
Inilah sisi lain yang bisa dimaknai dari wajah rekonsiliasi MRT saat ini. Sebuah langkah yang boleh jadi memang sangat dibutuhkan bukan hanya oleh pemerintah tapi juga seluruh elemen bangsa yang harus cepat melangkah kedepan. Dan, tidak terus berada di bawah bayang-bayang masa lalu. (mh)