ISU tentang akan ada kenaikan BBM pada 1 September lalu akhirnya tidak menjadi kenyataan. Padahal, jutaan orang sudah bersusah payah antri untuk nyiapin stok.
Seperti istilah ‘prank’, isu tentang kenaikan BBM di awal September akhirnya tidak menjadi kenyataan. Selain isu yang begitu kuat tersebut, masyarakat sudah terlanjur berbondong-bondong antri di malam menjelang 1 September lalu.
Masih belum jelas kenapa tanggal akan diumumkannya kenaikan BBM terus tertunda. Padahal, sejumlah mentri ekonomi sudah memberikan isyarat kuat tentang kenaikan tersebut.
Antara lain seperti yang diisyaratkan Mentri Keuangan dan Menko Investasi. Menurut mereka, subsidi untuk BBM sudah sangat besar. Dikabarkan sudah 500-an trilyun rupiah.
Alih-alih disampaikannya kenaikan BBM, yang justru turun lebih dulu adalah sejumlah pengumuman tentang kompensasi untuk rakyat.
Dengan kata lain, pemerintah lebih mengutamakan isu politiknya daripada ekonominya. Padahal, harga-harga barang sudah secara ‘spontan’ terdongkrak naik seiring dengan isu kenaikan BBM.
Ditunda atau tidaknya tanggal kenaikan BBM, harga-harga barang di masyarakat seperti sembako dan lainnya sudah lebih dahulu memberikan ‘sambutan’.
Masalahnya, apakah harga-harga yang sudah terlanjur naik secara sugesti ini, tidak akan naik lagi ketika diumumkannya kenaikan BBM?
Dengan kata lain, ada potensi rakyat akan mengalami dobel kenaikan harga barang: sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM.
Padahal, tanpa kenaikan harga-harga saat ini, kondisi ekonomi rakyat di bawah sudah sangat susah.
Entah sampai kapan kepastian tanggal kenaikan BBM akan masih misteri seperti ini. Ibarat kehamilan, HPL atau hari perkiraan lahir sudah lewat, sementara lama penundaannya masih ‘gelap’.
Yang dibutuhkan dalam ekonomi adalah kepastian. Hal ini penting untuk menghitung ulang variabel-variabel biaya sebuah barang dengan jelas, dan tidak tebak-tebakan.
Semoga saja ‘prank’ tanggal kenaikan BBM tidak lagi terulang untuk yang berikutnya. [Mh]