ChanelMuslim.com- Peristiwa penusukan yang terjadi di Menes terhadap Menkopolhukam, Wiranto, begitu menarik perhatian, dalam dan luar negeri. Apa yang sebenarnya terjadi terhadap Wiranto. Apakah memang murni tindakan terorisme? Atau, ada hal lain yang luput teramati media.
Ditinjau dari sudut pandang pelaku, bacaan yang bisa dilihat adalah sangat klise. Pelaku merupakan teroris, jaringan ini dan itu, keseharian tertutup, penampilan seperti ini dan itu, dan seterusnya.
Begitulah apa yang selalu terjadi di negeri ini tentang sosok teroris. Dari awal munculnya tindakan terorisme sejak awal tahun dua ribuan hingga di penghujung usia 20 tahun era reformasi. Nyaris tak ada yang berubah.
Jadi, membicarakan soal pelaku termasuk soal hal-hal yang berkaitan dengan itu seperti mengulang kaset lama yang diputar di waktu-waktu tertentu. Diputar, disimak, dinikmati, dan kemudian dilupakan. Begitu seterusnya, sampai sekarang.
Pertanyaan yang lebih menarik, dan ini mungkin luput dari pengamatan media adalah kenapa korbannya seorang Menkopulhukam yang juga senior di jajaran purnawirawan TNI yang masih sebagai pejabat saat ini.
Jika dianggap Wiranto sekadar korban karena abai soal pengamanan pejabat, sepertinya begitu banyak selama ini para pejabat yang aman-aman saja melakukan semacam blusukan. Dan hal itu biasa dilakukan mulai Presiden, Wapres, dan pejabat-pejabat di bawahnya. Termasuk pejabat di lembaga parlemen.
Terlebih lagi jika menilai bahwa Wiranto bukan sebagai korban, tapi sebagai bagian dari desain pencitraan; sepertinya hal itu sangat bertolak belakang dengan hasil yang mungkin diperoleh Wiranto.
Dari kasus ini, Wiranto yang sebagai pucuk tertinggi pejabat di bidang pertahanan, keamanan, hukum, dan politik; akan kehilangan wibawa. Bahkan, mungkin akan jatuh pada titik nadir, alias mengalami kehancuran karir.
Logikanya sangat sederhana: melindungi dan mengamankan kepentingan diri sendiri saja tidak becus, apalagi untuk kepentingan negara.
Dengan logika sederhana seperti ini, bisa diambil kesimpulan bahwa posisi Wiranto sebagai Menkopolhukam nyaris kehilangan kompetensi. Ditinjau dari saat-saat sekarang ini di mana pimpinan partai koalisi dan tokoh-tokoh elit negara sedang sibuk menyusun komposisi kabinet, posisi Wiranto menjadi sangat rawan.
Kedua, Wiranto merupakan pejabat berlatar belakang pertahanan dan keamanan yang memiliki sudut pandang yang berbeda soal pemberantasan terorisme. Setidaknya, hal itu tercermin dari program strategis yang ia canangkan pada akhir Desember tahun lalu.
Saat itu, ia mencanangkan strategi yang disebut dengan sinergi pemberantasan terorisme melalui hulu atau sebab musabab munculnya kerawanan terorisme di masyarakat.
Wiranto mencanangkan strategi penyelarasan antar kementerian dan lembaga dalam memberantas terorisme. Contoh, penyediaan perumahan, ekonomi, pendidikan, dan lainnya sehingga terorisme tidak menjadi hal menarik di masyarakat. Sinergi itu akan dipimpin oleh BNPT.
"Dan sinergi ini ternyata menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Mengapa? Karena semua Kementerian/Lembaga terlibat langsung dalam membina masyarakat yang termarjinalkan, membina eks napiter, membina orang-orang yang sudah terpapar radikalisme dan menuju radikalisme untuk kemudian sadar kembali. Tentu hasil seperti ini sangat menguntungkan," kata Wiranto di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, seperti dilansir laman detikcom, Kamis (27/12/2018).
Pendek kata, Wiranto ingin negara ini memberantas terorisme dengan cara yang mendasar dan simultan. Bukan dengan cara kekerasan yang selama ini terjadi.
Ketiga, mengamati pelaku penusukan dari strategi yang dicanangkan Wiranto ini memiliki keterkaitan, setidaknya dari hitungan waktu.
Seperti diketahui, pelaku yang merupakan suami isteri ini mengontrak di Menes pada Februari 2019, atau dua bulan setelah pencanangan strategi pemberantasan terorisme ala Wiranto.
Sepertinya, bisa benar bisa tidak, ada pihak-pihak yang sudah menyiapkan pertemuan yang menghebohkan antara Wiranto dengan pelaku. Dan pihak-pihak ini adalah mereka yang mungkin saja dirugikan dengan pola pendekatan atau strategi yang dicanangkan Wiranto selama hampir 10 bulan ini, atau satu tahun anggaran.
Keempat, dari segi target, Wiranto sepertinya sosok yang kurang tepat untuk dijadikan target terorisme dengan gaya yang klise seperti ini. Hal itu karena Wiranto justru pejabat yang ingin membenahi terorisme dengan cara yang manusiawi bukan militeristik.
Selain itu, Wiranto adalah sosok yang dikelilingi oleh anggota keluarga yang relatif lebih Islami di banding pejabat-pejabat lain. Mulai dari isteri dan anak-anak beliau.
Jika pelaku terorisme menggunakan variable istilah thogut atau sosok pejabat yang anti Islam dan harus dimusuhi seperti yang selama ini mereka gaungkan; Wiranto menjadi sosok yang kurang tepat untuk disasar.
Kelima, aksi penusukan oleh pelaku tergolong canggih dan mengikuti cara-cara intelijen tingkat tinggi. Hal itu terlihat dari keberadaan pelaku di lokasi yang begitu strategis, tepat di samping target, dengan tanpa diketahui atau setidaknya disadari oleh aparat keamanan.
Padahal, pelaku sudah menyiapkan senjata tajam, baik yang pria maupun yang wanita. Bagaimana mungkin kedatangan pejabat tinggi setingkat Menkopolhukam luput dari sterilisasi di areal ring satu.
Kalau pelaku sudah siap dan siaga di posisi strategis seperti itu, berarti orang ini sudah membaca dengan begitu teliti rencana kedatangan Wiranto: jam dan menit berapa target tiba, di mana posisi mobilnya, siapa dan di posisi mana para pengawalnya, dan seterusnya.
Sungguh suatu detil-detil kalkulasi intelijen tingkat tinggi yang biasa disaksikan di film-film spionase. Dan hal itu nyaris tidak masuk akal untuk sosok seperti dua pelaku yang berpendidikan rendah.
Hal janggal lain dari sisi pelaku adalah informasi yang begitu detil yang diperoleh media massa setelah satu jam kejadian. Bayangkan, hanya satu jam, media sudah dapat informasi begitu detil tentang siapa pelaku, tempat tanggal lahir, kedua orang tuanya, dan seterusnya.
Padahal, menurut Pak Usep, pemilik kontrakan yang ditempati pelaku selama tinggal di Menes; pelaku tidak pernah menyerahkan KTP atau KK. Keduanya selalu mengelak untuk memberikan identitas itu.
Kalau pemilik kontrakan saja tidak pernah tahu soal KTP dan KK, bagaimana mungkin pihak media massa bisa secepat itu tahu.
Kalau semua yang terjadi di Menes itu memang merupakan sebuah fakta dan kejadian yang alami bukan desain pihak-pihak tertentu untuk menyingkirkan Wiranto; sepertinya itu catatan yang begitu kelam sebagai bentuk kegagalan pemberantasan terorisme. Dan pihak intelijen adalah yang paling bertanggung jawab. (Mh)