ChanelMuslim.com- Setelah tiga bulan masa “serba di rumah” berlalu sejak awal Maret, pemerintah mulai menggemakan “new normal” sebagai geliat baru dinamika masyarakat Indonesia. Hal itu ditandai dengan kemunculan sosok Presiden Jokowi di stasiun MRT bersama Gubernur DKI, Anies Rasyid Baswedan, dan kehadirannya di pembukaan Mal Summarecon Bekasi bersama Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, Selasa (26/5).
Dua momen di atas bisa dikatakan sebagai “gong” dimulainya new normal life atau hidup nomal baru. Hal ini juga dirasakan masyarakat Indonesia sebagai angin surga setelah hidup tiga bulan dalam kebuntuan harapan.
Namun, sejumlah pakar masih ragu dengan dasar kalkulasi pemerintah untuk menetapkan momen new normal ini. Apakah dasarnya memang seperti yang distandarkan WHO atau semata-mata kreasi khas elit Indonesia yang berada di bawah bayang-bayang kekuatan pengusaha besar.
Kalau merujuk pada standar WHO, new normal pada sebuah negara bisa diterapkan jika data penyebaran corona menunjukkan penurunan. Atau setidaknya berada pada tren grafik landai. Hal itulah yang ditunjukkan oleh beberapa negara seperti Cina, Vietnam, Jerman, Selandia Baru, dan lainnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Data resmi yang bisa dibaca di Gugus Tugas Covid-19 menunjukkan bahwa kenaikan penyebarannya masih tinggi. Berkisar antara 400 hingga 600 per hari. Padahal, data itu diambil pada saat penerapan PSBB.
Kedua, penentuan zona merah dan hijau di suatu daerah masih diragukan sejumlah pakar. Pasalnya, zona-zona itu diambil dari berapa banyak warga yang terinfeksi pada situasi alami. Artinya, zona-zona itu bukan diambil dari kesimpulan setelah dilakukannya pemeriksaan massal terhadap warga setempat.
Dengan kata lain, zona-zona ini bisa sangat menipu manakala menelisik karakter penularan Covid-19 yang menunjukkan bahwa tidak semua yang terinfeksi menunjukkan gejala alami seperti demam, batuk, sesak nafas dan lainnya.
Angka di Jakarta mungkin bisa menjadi contoh. Warga yang positif terinfeksi memang berkisar di angka 6 ribuan. Tapi, yang OTG alias orang tanpa gejala bisa tiga kali lipat dari angka itu. Posisi OTG ini baru bisa terdeteksi jika dilakukan tes massal yang berskala besar di semua daerah.
Ketiga, ada perbedaan mendasar dari karakter orang Indonesia dibandingkan dengan masyarakat Eropa misalnya. Orang Indonesia dikenal ramah, dan menyatu dengan kebersamaan. Atau dengan bahasa lain, orang Indonesia senang berkerumun dan betah dengan keramaian.
Di masa PSBB yang relatif ketat saja, kerumunan normal masih banyak terjadi. Apalagi jika dilakukan pelonggaran. Dan sangat sulit membuat aturan apa pun untuk mengurangi kerumunan di tengah pelonggaran ini.
Tidak ada di negeri mana pun yang perayaan Idul Fitrinya bisa satu bulan selain di Indonesia. Tidak ada di negara mana pun yang semangat belanja Lebaran dan mudiknya melampaui orang Indonesia. Dan hanya di Indonesia ketika satu atau dua orang yang berangkat menunaikan ibadah haji tapi ditemani oleh ratusan orang.
Pertanyaannya, sanggupkah semua “basa-basi” tentang protokol covid-19 itu benar-benar bisa ditegakkan di tengah kerumunan itu, di tengah kerinduan orang untuk bisa kembali ke mal dan restoran, di tengah keluarga calon mempelai menanti-nanti untuk bisa merayakan pesta pernikahan, di tengah masyarakat yang ingin kembali berhalal-bihalal dan berwisata ria.
Sejatinya, semangat geliat new normal tidak semata-mata mengacu pada angka-angka ekonomi. Karena nyawa warga Indonesia tidak senilai dengan aset ekonomi apa pun.
Jika kalkulasi ekonomi yang selalu dikedepankan untuk menjadi acuan new normal, kita khawatir, bukan new normal yang terjadi. Melainkan, new disaster, atau bencana baru. Semoga ini tidak terjadi. (Mh)