ChanelMuslim.com- Gaung ‘new normal’ yang disuarakan pemerintah kian mendapat sorotan publik di level bawah. Bukan soal disiplin atau kepatuhan masyarakat mengikuti aturan ‘new normal’ itu. Melainkan, pada pemilihan simbol dimulainya ‘new normal’.
Selasa lalu menjadi momen yang sangat disorot rakyat saat Presiden Joko Widodo meninjau dua lokasi bisnis di dua tempat berbeda. Satu di stasiun MRT Jakarta. Dan satunya lagi, di Mal Summarecon Bekasi, Jawa Barat.
Entah kenapa, peninjauan di MRT Jakarta tidak begitu mendapat sorotan besar di kalangan bawah. Mungkin, hal itu karena MRT memang baru hanya ada di Jakarta dan Palembang, sehingga warga di tempat lain tidak merasa perlu menyimak hal itu.
Sangat berbeda ketika peninjauan dilakukan di sebuah mal super besar bernama Summarecon. Sorotan publik begitu tajam. Sekali lagi, mungkin karena mal juga sudah banyak bertebaran di kota-kota besar di Indonesia. Perhatian orang menjadi begitu kuat di peninjauan ini karena mereka juga merasakan tentang keberadaan mal di wilayah mereka.
Di era saat ini, mal memang menjadi sosok baru yang multi dimensi untuk masyarakat kota. Ia menjadi akses ekonomi, sarana wisata keluarga, pendidikan, bahkan tempat ‘ketemuan’ untuk keperluan bisnis maupun urusan muda-mudi.
Daya tarik inilah yang boleh jadi menggerakkan kota-kota di Indonesia untuk mengajukan proposal ‘new normal’ untuk diterapkan di wilayah mereka. Entah keinginan itu datang dari kalkulasi pejabat itu pada sektor bisnis, atau mungkin juga karena bisikan istri dan anak-anak mereka yang sudah sangat kangen dengan dunia mal yang biasa mereka kunjungi.
Ada kemungkinan lain kenapa mal begitu menjadi sorotan di era ‘new normal’. Mungkin saja, para pengelola mal sendiri yang membuatnya demikian. Hal ini agar ‘new normal’ bisa berawal dari mal. Mereka seperti merasa tidak mendapatkan keadilan. Karena kenyataannya, pasar-pasar tradisional sudah lebih dulu ‘new normal’ dengan aturan yang ala kadarnya.
Pemandangan menarik pernah datang dari wilayah Jawa Timur. Di tengah pelaksanaan PSBB, Majelis Ulama wilayah itu justru melakukan himbauan kepada kepala daerah untuk membuka akses masjid untuk shalat jamaah.
Di antara alasannya, hasil survei mereka menunjukkan bahwa masyarakat yang mayoritas muslim sangat membutuhkan akses ibadah yang tidak bisa dilepaskan dengan masjid. Sehingga di momen Ramadan lalu, DKM masjid begitu bersemangat untuk menyambut himbauan itu dengan melaksanakan tarawih dan rencana Shalat Idul Fitri di seluruh wilayah Jawa Timur. Tentu dengan tetap menerapkan standar protokol kesehatan.
Pemandangan ini menjadi begitu menarik karena terjadi hanya di Jawa Timur. Tidak di Jakarta, Jawa Barat, atau pun daerah lain. Hanya di Jawa Timur yang Majelis Ulamanya menyuarakan himbauan itu. Kenapa?
Analisis pertama, hal itu menjadi sangat wajar karena Jawa Timur memang “gudang” para santri yang tidak bisa lepas dari keberadaan masjid. Di wilayah inilah, pesantren-pesantren tertua dan terbesar di Indonesia berada. Kiprah mereka begitu berpengaruh di seantero negeri di Indonesia bahkan sampai ke negeri jiran seperti Malaysia dan Brunei.
Jadi, sangat wajar jika Majelis Ulama wilayah Jawa Timur menyampaikan aspirasi itu untuk diperjuangkan kepada kepala daerah. Meskipun, ada kepala daerah yang menyambut positif dan ada juga yang mengabaikan dengan berbagai pertimbangan.
Namun, ada analisis kedua yang boleh jadi sungkan untuk disampaikan oleh para ulama yang sangat berhati-hati dengan potensi ketersinggungan pihak lain. Yaitu, sisi keadilan. Di banding Jakarta dan Jawa Barat, serta wilayah lain yang daerah perkotaannya tumbuh pesat, keberadaan mal-mal di wilayah Jawa Timur mendapatkan kelonggaran tersendiri.
Kalau di Jakarta dan Jawa Barat, mal-mal yang besar atau kecil tutup sementara. Tidak begitu di wilayah Jawa Timur. Begitu pun pada soal ketegasan kepala daerah untuk menindak pihak pengelola mal di tiga wilayah besar dan padat itu. Bandingkan dengan DKI Jakarta dan Jawa Barat yang begitu tegas “menghukum” pihak mal yang melanggar aturan PSBB. Di Jawa Timur boleh jadi menjadi pemandangan yang sangat berbeda.
Mal dan masjid, tanpa disadari pihak pemerintah, kini menjadi tolok ukur yang sangat diperhatikan warga level menengah ke bawah. Mereka diam-diam membanding-bandingkan seperti apa keberpihakan pemangku kekuasaan negeri ini di dua kebutuhan publik itu. Masjidkah, atau mal?
Padahal, jika merujuk pada protokol kesehatan, masjid jauh lebih siap menerapkan ‘new normal’ dibandingkan mal atau tempat publik lain. Karena di tempat inilah, semua yang hadir sudah terbiasa dengan nilai kebersihan: fisik dan mental.
Jauh sebelum publik dibiasakan untuk mencuci tangan sebelum memasuki tempat umum, masjid sudah menerapkan itu. Bahkan bukan hanya tangan, melainkan juga mulut, hidung, wajah, tangan hingga lengan, termasuk kaki.
Dan di masjid, orang tidak merasa perlu berlama-lama selain hanya untuk menunaikan shalat berjamaah. Mungkin tidak lebih dari 15 menit, kecuali di pelaksanaan Shalat Jumat. Bandingkan dengan keberadaan yang hadir di mal, tempat wisata, kantor, dan lainnya. Apakah ada yang hanya berada di kawasan itu selama 15 menit saja?
Di masjid pula, tidak ada kerumunan untuk makan dan minum atau berlama-lama untuk ngobrol yang berpotensi orang untuk melontarkan droplet ke orang lain. Bandingkan dengan tempat-tempat lainnya. Sekali lagi, masjid jauh dan jauh lebih siap, bahkan lebih pantas, untuk diterapkan ‘new normal’ lebih awal sebelum tempat lain di luar rumah.
Sayangnya, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini justru menyaksikan simbol dibukanya ‘new normal’ bukan di masjid Istiqlal, atau masjid lain di negeri ini. Bahkan terkesan, pembukaan ‘new normal’ di masjid lebih karena sebagai konsekuensi logis setelah malnya dibuka beberapa hari sebelumnya. Itu pun di masjid tertentu saja dengan aturan protokol yang sangat ketat. (Mh)